1. Malam Yang Dingin

15 1 0
                                    

Suara pisau memotong sayur dan beberapa daging. Wangi kuah yang sudah mendidih. Dan percikan minyak saat daging mulai dimasukkan kedalam penggorengan. Dari cara membuatnya tentu rasanya sudah tidak diragukan lagi.

Yansen yang sedari tadi di dekat ibu, menghirup aroma makanan dengan antusias. Ia mengipas-ngipasi dengan tangan agar wanginya masuk kedalam indra penciuman nya. Dan sesekali ia mencicipi seperti seorang master chef yang menilai masakan para peserta.

Ibu sudah terbiasa dengan kelakuan Yansen ketika mereka menyiapkan makan malam. Dan tidak jarang ibu ikut dalam drama dadakan yang dibuat Yansen.

Terkadang sebagai seorang ratu dan pelayan, chef dan peserta, bahkan pelayan restoran. Mereka melakukan itu dengan semangat. Aktifitas yang hanya diketahui oleh Yansen dan Ibunya. Sementara menunggu ayah dari dinasnya. Biasanya ayah pulang pukul 18:00 tepat.

"Silahkan duduk ratu, biarkan saya yang membereskan" Yansen menyiapkan kursi untuk ibunya. Tentu, ibunya menurut pada tuan muda kesayangannya. Perlakuan manis Yansen selalu membuat ibunya tersenyum bahkan tertawa. Namun, perlakuan manis itu hanya berlaku pada ibunya saja.

Yansen menata satu persatu piring berisi makanan yang baru saja ibu buat dengan sepenuh hati. Entah mengapa hari ini ibu memasak makanan yang enak-enak. Dan banyak.

"Kenapa ibu memasak banyak hari ini?" Anak berusia 12 tahun itu bertanya heran pada ibunya.

"Barangkali ada tamu yang akan datang nanti" Jawab ibunya menuangkan air kedalam cangkir. Yansen memandang ibunya sambil berpikir.

Suara langkah kaki mendekat, diikuti suara berat yang memanggil nama Yansen. Tidak lain dan tidak bukan itu adalah ayah. Segera Yansen menjemput ayahnya dan menggandeng nya menuju meja makan.

"Wah... banyak sekali menu hari ini" Ayahnya meneliti dari satu makanan ke makanan lain. Lalu ia mengusap kepala istrinya dengan wajah penuh kasih sayang. Yansen hanya tersenyum melihat kedua orang tuanya bermesraan.

"Aku merasa bahagia hari ini, makanya aku memasak banyak" Ucap ibu mengambil nasi, dan diberikan kepada ayah dan Yansen.

Ditengah sesi makan malam, tiba-tiba saja Yansen nyeletuk, "Disaat seperti ini, aku merindukan kakak" Kedua orang tuanya lantas berhenti mengunyah dan saling menatap.

"Dia akan datang" Jawab ayah beralih menatap Yansen. Ayah diam sejenak untuk menelan makanannya, "Ayah minta, jika kita berpisah nanti. Kau harus segera pergi ke rumah nenek Chi"

"Apa maksudnya?" Yansen belum cukup mengerti dengan perkataan ayah. Ia beralih memandang ibunya yang hanya diam menatap piring makannya.

"Kita tidak akan berpisah. Jangan berbicara omong kosong, Ayah!" Yansen mulai menggertak. Ia merasa aneh dan tidak tenang. Sesuatu sedang disembunyikan darinya. Ia beranjak berdiri dan meninggalkan kedua orang tuanya.

"Nak, " Panggil ayah sukses membuat Yansen menghentikan langkahnya, "Berjuanglah" Yansen hanya melirik tanpa menoleh kebelakang. Lantas ia melanjutkan langkahnya. Ia tidak suka dengan kebohongan atau omong kosong yang membuatnya berpikir buruk. Yansen pikir ini makan malam yang terbaik karena ibu memasak banyak makanan. Sama saat masih ada Enzo, kakaknya.

"Bukankah itu terlalu blak-blakkan, Ernest ?" Wanita berumur 40 tahun itu masih tertegun dan memikirkan nasib anaknya. Naluri ibu tidak bisa berbohong, ia akan selalu menaruh anak-anaknya pada setiap sudut hatinya. Ia memandang suaminya yang sebenarnya penuh dengan kecemasan dan rasa takut. Ia meraih tangan suaminya dan menggenggamnya.

End Of RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang