1. Dari Panggung ke Panggung

2.9K 18 0
                                    

Warning! 21+

Mendapatkan tepuk tangan yang meriah, Rana tersenyum lebar memandang semua penonton yang memadati lapangan kampung Air, daerah tempat di mana ia tinggal dan menetap. Sekalipun dibawah panasnya siang matahari, namun tidak melunturkan semangat bapak-bapak serta ibu-ibu yang ikut bergoyang dan berdendang bersama dirinya.

Kebetulan sekali saat ini Rana sedang mengerjakan job nyanyi untuk seorang anak Lurah yang baru saja di sunat kemarin. Mendapatkan bayaran sesuai kesepakatan, Rana jelas bahagia. Dia berulang kali bersorak, mengajak semuanya ikut larut dalam penampilannya siang ini walau panasnya sinar matahari membakar kulit mereka semua.

Setelah menyanyikan dua lagu, Rana menjeda performancenya sejenak. Dia meneguk air minum dingin yang sudah disediakan panitia, sambil bercengkrama dengan para tamu yang datang. Memiliki suara centil yang khas, ketika Rana bicara saja, rasa gemas dari orang-orang yang mendengarnya pun terdengar bersorak kompak. Mereka semua setuju jika Rana memang sangat mempesona. Wajahnya yang mungil dan mulus, badannya yang aduhai khas seperti para biduan, lalu suaranya yang menggemaskan, seolah melengkapi kesempurnaan yang Rana miliki. Tuhan benar-benar sedang bahagia sewaktu menciptakan wajah dan bentuk dari Rana.

"Gimana? Masih pada kuat, kan? Gak papa kulitnya kebakar, yang penting hati senang!!"

"WOOOOOOOO."

Bapak-bapak serta ibu-ibu yang berada di depan panggung mini itu terdengar bersorak. Mereka jelas bahagia di sapa dengan Rana, biduan yang saat ini sedang naik daun dan ramai dibicarakan dimana-mana. Bahkan pak Lurah yang ingin menyewanya saja harus booking dari jauh-jauh hari sebelum Rana bisa tampil di panggung sederhana ini.

"Ayo kita lanjut lagi, lagu selanjutnya lagu paling Rana suka. TOEL DIKIT, MAS! Ayo nyanyi sama-sama."

Semua orang kompak bertepuk tangan dan terhibur mendengar Rana mulai mendendangkan lagunya kembali. Saat Rana menyodorkan mic kepada bapak-bapak tua yang berdiri di dekat panggung, pria itu begitu hapal lirik lagu yang Rana nyanyikan. Dan hebatnya bisa mengikuti setiap bait dari lagu tersebut.

"Wah ... terima kasih banyak, Pak."

Ingin berdiri, setelah sebelumnya Rana jongkok karena harus menyodorkan micnya kepada bapak-bapak itu, tiba-tiba saja tangannya dipegang.

Rana menatap bingung. Baru kali ini ada yang melakukan skinship dengannya. Selama dia berkarir, dari panggung ke panggung, tidak pernah ada yang mencengkramnya paksa begitu. Biasanya hanya salaman dan bertegur sapa ramah saja. Tapi kali ini Rana mendapatkan perlakukan yang berbeda.

"Maaf, Pak. Bisa dilepas," ucap Rana dengan ringisan.

"Sini mendekat dulu, aa mau kasih uang jajan buat eneng."

AA? Dengan tampang pria seumur hampir 50 tahun jika Rana perkirakan, bisa-bisa dia menyebut dirinya Aa, dan memanggil Rana dengan sebutan eneng? Apakah jarak usia mereka sedekat itu?

Padahal Rana baru saja tamat sekolah menengah atas beberapa bulan lalu. Yang mengartikan berarti usianya masih belasan tahun. Tapi pria tua bangka ini dengan bangga bersikap selayaknya usia mereka hanya berjarak sangat dekat.

"Le ... pas."

"Sebentar ih," ucapnya menjijikkan.

Sambil mengeluarkan beberapa lembar uang 10ribuan, Rana meringis pedih. Tangannya sudah merah karena dicengkram begitu kuat dan pria itu dengan bangga menyawernya dengan uang 10ribuan. Demi apapun juga, Rana lebih memilih pria itu menikmati lagunya saja, dari pada sibuk ingin menyawernya dan malah membuatnya terluka.

"Enggak usah, Pak. Enggak usah."

"Udah, enggak papa."

Terus saja memaksa, 3 lembar uang 10ribuan dia paksa Rana untuk menerimanya. Sambil tak lupa pria tua bangka itu mencolek-colek lengan Rana, dengan lidah yang dijulur-julurkan layaknya seekor ular yang begitu menjijikkan. Itu yang ada dalam pikiran Rana.

Berhasil dibebaskan, Rana kembali mundur ke belakang. Mendekat ke seorang pemain keyboard yang mengirinya bernyayi selama acara ini.

Memberikan uang saweran itu kepada pak Agus, yang masih sibuk dengan alat musiknya, Rana bergumam pelan. "Sudah didasar kehidupan, masih saja ada orang yang merendahkan."

***

Diberikan waktu istirahat untuk menikmati makanan, Rana mendapatkan sajian makanan yang luar biasa banyak dan juga enak. Matanya tak berhenti berkedip menatap keseluruhan makanan itu. Walau dia sering menerima job menyanyi dari panggung ke panggung, namun makanan yang dia dapatkan kali ini terlihat sangat enak.

Sambil menikmati satu demi satu kue-kue yang tersaji di depan meja kecil, tempat ia duduk, beberapa ibu-ibu dan juga bapak-bapak menegurnya dengan sopan. Ada kalanya yang memanggil nama Rana, selayaknya seorang ibu memanggil nama anaknya. Ada juga yang sebut dia neng, tanpa embel kata aa untuk sebutan yang memanggilnya.

Semua jelas begitu menerimanya dengan baik. Berbeda sekali dengan pria tua bangka tadi, yang kebetulan menyawernya dengan uang 30ribu, namun seolah bisa menikmati seluruh tubuhnya.

"Neng Rana, makan yang banyak, ya. Nanti nyanyi lagi buat ibu-ibu yang membantu masak hari ini," tegur salah seorang ibu yang sibuk memunguti piring kotor yang tergeletak di beberapa kursi.

Rana tersenyum. Kepalanya mengangguk. Dia setuju dengan saran dari ibu itu. Namun jika terlalu banyak mengisi perutnya, Rana takut muntah sewaktu dia harus menyanyi kembali.

"Siap, Bu. Diusahakan memberikan perform terbaik."

"Hahaha, pokoknya makan yang banyak. Jangan dipusingin orang-orang atau tamu-tamu yang datang. Mereka mah emang gitu, belum kenal neng Rana. Kalau pak Lurah kan udah kenal makanya kelihatan kan beliau santai banget."

"Iya, Bu. Yang agak rusuh memang yang belum begitu kenal siapa saya. Mereka menganggap saya dengan biduan yang lainnya sama. Padahal tidak. Jadi ...."

"Jadi disabarin aja."

Mendapatkan nasihat yang luar biasa menenangkan, Rana jauh lebih tenang dibanding sebelumnya. Bahkan perih pada tangannya yang merah karena cengkraman pria tua bangka itu, tidak sedikitpun terasa olehnya. Dia tahu memang seperti inilah seharusnya dia berpikir dan bersikap. Karena mayoritas orang yang tidak mengenalnya bisa bersikap seenaknya.

"Yuk? Udah belum istirahatnya?" tegur pak Agus ketika ia selesai meneguk air teh hangat terakhirnya.

"Udah, Pak. Lanjut lagi. Tamu kayaknya udah mulai berdatangan."

Buru-buru menyedot air minum dalam kemasan yang masih tersisa setengah, Rana segera berlari-lari kecil ke arah panggung. Dengan sepatu heels tinggi, serta pakaiannya yang rempong khas biduanita, Rana kembali berdiri tegak di atas panggung sambil menatap ke arah para tamu yang berdatangan.

Mencoba menyambut semuanya dengan mic di tangannya, suara khas dai Rana terdengar mempersilakan semua tamu menikmati hidangan yang sudah tuan rumah siapkan. Tak lupa pula dia mengatakan bila mereka semua bisa menikmati hidangan sambil mendengarkan dendangan lagu dangdut yang sudah berhasil dia cover di media sosial.

Saat pak Agus mulai memainkan musiknya dan memberikan kode kepada Rana, kapan suaranya harus masuk , untuk memulai lagu ini, tiba-tiba saja Rana melihat seseorang masuk ke dalam pesta ini, berseragam lengkap, seperti adegan beberapa waktu lalu ia banggakan.

"Aish ...." Membuang pandangannya ke arah lain, Rana berharap pria itu tidak mengenalinya saat ini. Walau kemungkinan itu sangat kecil, setidaknya dia tidak mau diganggu selama dirinya sedang bekerja. Karena jika sudah berhubungan dengan pria berseragam itu, ada saja masalahnya.

"Ran ... ayo. Mulai," seru pak Agus yang sudah kedua kalinya memulai ketukan agar Rana masuk ke dalam melody, tapi wanita itu hanya diam mematung dengan ringisan di bibirnya.


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Goyangan Panas sang BiduanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang