4. Putri Panggung

766 12 0
                                    

Satu bab lebih cepat! Mampir ke karya karsa @THePeee

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Satu bab lebih cepat! Mampir ke karya karsa @THePeee




Sekalipun bakat nyanyi sudah dimiliki oleh Rana sejak lahir, namun gadis muda itu tidak mau jumawa atas kemampuan yang ia miliki. Setiap akan tampil disuatu acara, besar ataupun kecil, Rana tetap menyempatkan diri untuk melakukan latihan sejenak. Dimulai dari beberapa lagu pilihan yang biasa ia tampilkan, sampai lagu-lagu yang jarang sekali dia nyanyikan, Rana libas semuanya dalam kegiatan latihannya sore ini. Selalu merasa beruntung karena pemain orgen musik, yang selalu mengiringi Rana bernyanyi dari panggung ke panggung, mau membantunya untuk latihan, Rana tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan ini.

"Kamu kayaknya bisa naik satu nada lagi. Biar powernya lebih keluar," ucap pak Dedi penuh nasihat.

Rana mengangguk setuju, dia kembali mengulangi part yang baru saja dikomentari oleh pak Dedi, kali ini Rana mengambil nada lebih tinggi sesuai saran laki-laki paruh baya itu. Dan benar saja, ketika ia berhasil menyanyikannya, pak Dedi langsung tersenyum bangga melihat semua usaha yang telah Rana lakukan untuk memperbaiki diri.

Maklum saja, seorang biduan di negara ini selalu saja dinilai dari sisi negatifnya saja. Padahal sejatinya jika mau dibandingkan, biduan dan aktris 3 diva, sama saja. Mereka semua sama-sama penyanyi. Hanya saja yang membedakan mereka adalah jenis musik yang dinyanyikan.

Akan tetapi anehnya hanya biduan yang dinilai negatif oleh hampir semua orang. Mereka semua kompak menganggap biduan tidak menjual suara, melainkan menjual tubuh mereka kepada para penonton yang hadir. Selain itu pula goyangan para biduan yang jauh lebih asoy geboy, menjadi alasan utama mengapa para penonton laki-laki selalu lemah jika melihat para biduan meliuk-liukkan tubuh mereka di atas panggung.

"Nah, ini baru mantap. Kalau suara gendangnya dinaikkan juga gimana? Biar kamu langsung ada waktu buat performance goyanganmu dimoment itu?"

"Boleh, Pak. Cuma aku minta 2kali interludenya. Kalau bisa pas interlude kedua dibuat yang heboh musiknya."

"Ya ... ya, boleh banget. Setuju sama ide kamu, Ran."

"Mantap. Yuk, ulang lagi," ucapnya meminta pak Dedi mengulangi latihan ini sekali lagi sebelum benar-benar usai.

Menikmati musik awal yang dimainkan oleh pak Dedi, Rana langsung saja mengeluarkan suara emasnya ketika menyanyikan setiap bait lagu tersebut. Sampai apda bagian interlude kedua, seperti yang dirinya minta ke pak Dedi, musik tersebut dibuat lebih ramai sehingga Rana bisa puas menari.

Sekalipun semua ini hanya latihan, dia benar-benar menunjukkan kehebatannya menari dan bernyanyi, sampai-sampai para tetangga rumah pak Dedi yang tahu bila saat ini jadwal Rana latihan, ramai-ramai datang hanya demi melihat idola mereka menyanyikan beberapa lagu yang diulang-ulang.

Mendapatkan sorakan ramai, Rana menjadi malu sendiri karena para ibu-ibu, anak-anak kecil, bahkan bapak-bapak yang biasanya selalu bertugas di sawah atau di ladang, menjadi sangat terhibur. Tersenyum dengan sangat lebar, Rana membungkukkan tubuhnya, merasa bahagia karena tanggapan semua orang sangat baik atas suara dan goyangannya saat latihan. Dan dia merasa yakin tidak akan pernah mengecewakan para penontonnya saat sedang tampil di atas panggung.

"Mbak Rana, jadikah tampil di acara polsek Mata Air?" tanya seorang ibu-ibu, berpakaian daster apa adanya, yang merupakan tetangga dari pak Dedi.

"Doain, Bu. Sepertinya jadi. Awal bulan depan. Sekarang ini saya mau latihan dulu. Biar enggak mengecewakan. Masa iya udah diundang ke kampung sebelah, tapi penampilan Rana cuma gini-gini aja, kan enggak bagus banget. Malu yang ada. Jadi tolong doain Rana ya, ibu-ibu dan bapak-bapak semua."

Menunduk hormat dan sangat sopan, pak Dedi yang sebelumnya hanya duduk di belakang organ miliknya, kini ikut menghampiri para tetangga yang terlihat duduk di teras rumah sederhananya ini.

"Hei ... hei, kalian pada ngapain? Jangan ditonton sekarang dong penampilan Rana, nanti jadinya enggak surprise lagi. Udah ... udah sana pulang. Awal bulan besok langsung aja datang ke polsek Mata Air. Di sana, Rana mau tampil buat kalian semua. Catat tanggalnya dan ramaikan. Biar semua orang tahu kalau kampung kita ini punya biduan yang pintar nyanyi, menari dan cantik pula."

"Ah, pak Dedi bisa aja."

"Tapi emang bener, mbak Rana cantik. Mbok penasaran nanti calon suaminya siapa, ya? Perempuan cantik begini, harus dapat laki-laki yang sempurna."

"Betul itu! Minimal mah salah satu pak polisi tempat besok tampil, ya!"

"Setuju itu. Wajib salah satunya jadi pasangan mbak Rana."

Terus saja berdebat, Rana hanya terdiam sambil mendengarkan percakapan para ibu-ibu yang duduk berhadapan dengannya saat ini. Membahas tentang calon suami Rana, sejujurnya dia pun ingin memiliki calon suami yang sempurna karakter dan pekerjaannya, dengan harapan kehidupan Rana bisa jauh lebih baik setelah pernikahan. Akan tetapi jika yang sempurna itu hanya pak polisi, lebih baik dia memilih tuk mundur dari pernikahan tersebut.

***

"Jam segini baru pulang! Mending pulangnya bawa uang. Ini mah kagak! Dari mana aja kamu?"

Meliriknya sekilas, Rana malas berdebat dengan ibu tirinya itu yang kini tengah bersantai di ruang keluarga bersama adik tirinya, Lusi. Langkahnya terus terjadi, menuju kamar sederhana tempat ia tidur selama ini, sekalipun pada beberapa bagian sudutnya sudah dipakai oleh Ida, ibu tirinya, untuk menaruh barang-barang bekas.

"Gimana mau jadi biduan berkualitas, suara buat jawab pertanyaan orang aja enggak punya!" sindirnya lagi, hingga langkah Rana terhenti. Dia menatap tajam ke Ida, sambil bergumam pelan.

"Rana dari rumah pak Dedi! Habis latihan untuk manggung awal bulan depan."

"Latihan? Apa yang perlu dilatih? Hah? Jadi biduan yang penting badan lo montok aja. Putih montok kayak cimol, udah cukup. Enggak usah banyak gaya. Lo enggak akan masuk dapur rekaman. Yang ada noh, dapur kotor, banyak pantat panci hitamnya! Jadi enggak usah gegayaan pakai latihan segala. Lagian gue lihat-lihat badan lo makin kurus aja. Sebenarnya lo makan kagak sih? Mana suka penonton sama penyanyi dangdut yang badannya tepos kayak gini. Besok-besok makan tuh nasi yang banyak. Biar badan lo semok lagi. Kan jadinya bakalan banyak yang napsu sama lo. Setuju enggak?"

Lagi dan lagi Ida memberikan komentar menyakitkan untuknya. Sekalipun mereka tinggal 1 rumah, namun Rana tidak yakin bila Ida, ibu tirinya ini, tahu segalanya. Dia bisa berkomentar semenyakitkan ini hanya dari penglihatannya saja.

"Kenapa diem aja? Udah sana mandi. Biduan sih jorok banget!"

Slalu saja dinilai buruk, Rana memberikan tanggapan dengan ibu jarinya saja. Karena sekali saja dia berdebat, maka akan panjang urusannya. Lagi pula tubuhnya sudah terlalu lelah setelah menyelesaikan latihan dengan pak Dedi. Karena itu, biarkan Ida memberikan komentar sesuka hatinya saat ini.

Namun belum sampai ia masuk ke dalam kamar, suara salam dari seseorang terdengar di depan rumahnya. Kompak bertiga menengok ke arah pintu depan, Rana langsung saja meringis saat menyadari siapa tamu yang datang ke rumah mereka malam ini.

"Sial," gumamnya bermonolog saat melihat laki-laki berseragam itu malah mendatangi rumahnya setelah sekian waktu Rana berhasil menghindar.

Goyangan Panas sang BiduanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang