Warning! 21+
Tinggal bersama ibu tiri dengan satu anak yang wanita itu bawa dari hasil pernikahannya sebelumnya, Rana berusaha sekali untuk menghindari perdebatan di antara mereka. Pada awalnya Rana tidak menyangka sikap ibu tirinya akan sekejam ini. Akan tetapi setelah ayahnya meninggal barulah dia sadar sejahat apa karakter ibu tirinya yang suka sekali memperbudak Rana untuk menghasilkan uang. Sibuk dengan berjudi togel, ditambah dengan penghibur pada polisi-polisi jalanan, ibu tirinya memang tidak pernah ingat untuk menafkahi anaknya. Terlebih lagi anak kandung yang dia bawa dari pernikahan wanita itu sebelum menikah dengan ayah Rana. Karena itulah, sering kali Rana yang memberikan adik tirinya uang jajan untuk sekolah, atau membayarkan uang sekolahannya.
Sudah memberikan yang terbaik saja, Rana masih sering dicaci maki, apalagi bila Rana tidak peduli. Yang ada ibu tirinya akan bersikap seperti korban yang paling tersakiti sedunia. Padahal kenyataannya Rana tidak pernah melakukan apapun yang memberatkan wanita itu.
Sepulangnya dia manggung dari rumah pak Lurah, Rana sengaja masuk ke dalam rumah mengendap-endap. Menghindari suara berisik yang akan membuat sadar ibu tirinya itu bila Rana sudah pulang malam ini. Akan tetapi, karena kenyataannya kepulangan Rana sudah benar-benar ditunggu oleh wanita tua itu, baru saja dua langkah kakinya melewati ruang TV sederhana, suara penuh sindiran terdengar di telinga Rana.
Langkahnya seketika terhenti. Dia menoleh ke arah sumber suara yang menunjukkan sosok ibu tirinya itu sedang berdiri tegap sembari bersidekap, menatap Rana kejam, seperti akan menelan gadis itu hidup-hidup.
"Giliran manggung aja bisa. Tapi setiap ditanyain duit, enggak pernah ada. Makan mewah diluar rumah bisa, tapi inget yang di rumah aja enggak! Anak enggak tahu diri. Lupa selama beberapa tahun ini ibu yang besarin! Kalau bukan karena ibu, lo udah jadi gelandangan. Bisa-bisanya lupa kasih orangtua duit kalau abis manggung."
Lagi dan lagi diancam dengan dengan murahan seperti itu, sudah membuat Rana kebal. Padahal kalau Rana pikir-pikir sedikit sekali ibu tirinya ingin mengeluarkan uang, entah itu untuk biaya makan sehari-hari, atau untuk biaya sekolah.
Ditinggal pergi selama-lamanya setahun sebelum kelulusan, memang timbul banyak biaya di sekolahan yang wajib diselesaikan. Dan semua itu, memang ibu tirinya yang membayarkan pada detik-detik terakhir sebelum ujian dimulai.
Akan tetapi dari yang Rana ketahui, rumah sederhana ini yang masih mereka tempati bersama adalah rumah ayah kandungnya. Dan bila ibu tiri serta anaknya masih mau tinggal di sini, maka keduanya jelas harus mengikuti aturan pemilik rumah, yakni Rana. Ibunya harus tetap berperan sebagai seorang ibu yang mengasihi dan mensupport kebutuhan anaknya. Bukan hanya ingin bagian senangnya saja.
"Mana sini bayarannya. Ibu butuh buat beli beras!!"
"Memangnya ibu enggak ada uang?"
"Enggak ada. Uang ibu habis untuk bayar sekolah Lusi! Udah jangan banyak tanya, sini uangnya semua. Enggak baik anak kecil kayak lo pegang uang banyak. Nanti ibu aja yang pegang uangnya. Biar ibu yang bantu atur, biar enggak boros."
Melirik curiga, Rana segera menggelengkan kepala. Dia bukan anak kecil lagi yang mudah ditipu oleh orang lain, apalagi sosok ibu tiri yang ingin membohongi dirinya. Karena sekarang ini Rana bisa sekali membedakan mana orang yang baik karena tulus, dan mana orang yang baik karena fulus.
"Enggak usah semuanya! Rana kasih aja secukupnya untuk beli beras. Sisanya mau Rana tabung untuk kuliah!"
"Alah, bocah kampung kayak lo mau kuliah? Udah enggak usah kuliah. Mending lo nyanyi aja terus. Nanti kalau udah ketemu jodohnya, buru-buru nikah deh. Biar enggak beratin hidup ibu lagi. Jadi di rumah ini ibu bisa bebas!"
"Bebas?" ulang Rana tidak paham. "Kenapa ibu merasa bebas? Bukannya rumah ini atas nama Rana? Rumah ini milik kedua orangtua Rana sebelum kematian memisahkan mereka. Lalu, setelah itu ayah kasih nama rumah ini pakai nama Rana. Jadi sudah seharusnya ibu yang keluar dari rumah ini kalau Rana menikah. Yang berhak atas rumah ini, Rana. Kecuali ayah punya rumah lain atas nama beliau, baru ibu boleh sesuka hati melakukan apapun di sana. Akan tetapi, bila di rumah ini, walau jelek, walau reot, walau banyak yang bocor, walau kata ibu dijual pun enggak akan laku, tetap aja sesuai dengan surat kepemilikannya, rumah ini milik RANA!"
Tidak bisa sedikitpun menerima fakta yang Rana katakan, emosi yang tersimpan di dalam diri seketika meledak. Diawali dengan sebuah tamparan di bagian pipi kiri Rana, tangan kanan ibu tirinya itu dengan kuat menjambak rambut gadis itu yang sudah dengan kurang ajar melawan dirinya.
Selama ini masih berusaha memberikan yang terbaik untuk Rana, menurut versinya sendiri, wanita tua itu amat sangat tidak terima diperlakukan kasar oleh anak tirinya sendiri. Apalagi sampai dengan entengnya Rana bicara mengenai kepemilikkan rumah ini, seolah-olah gadis itu tidak ada ucapan terima kasih sedikitpun kepada ibu yang membesarkan hingga sesukses ini menjadi biduan di kampung Air.
"Akh ... sakit," ringis Rana. Matanya mulai berkaca-kaca saat mendapatkan tamparan kencang dari ibu tirinya. "Kenapa, bu? Apa ada yang salah dari kata-kata Rana?"
"Dasar anak kurang ajar ya, lo. Lupa selama ini siapa yang ngerawat, kasih makan dan lainnya. Bisa-bisanya lo usir ibu lo sendiri. Udah gila. Jangan mentang-mentang udah jadi biduan sekarang, lo bisa seenaknya aja. Pokoknya selama ibu masih hidup, rumah ini akan tetap jadi milik ibu. Mau bagaimana pun caranya!"
Tersenyum misterius, Rana mengusap pipinya yang terasa semakin perih atas tamparan kencang dari ibu tirinya. Melemparkan tatapan tajam, dia sendiri pun tidak akan pernah mau mengalah dari kegilaan ibu tirinya ini.
"Kalau begitu, berarti ibu harus bunuh Rana dulu agar keinginan ibu tercapai. Tapi selama Rana belum mati, ibu jangan pernah bermimpi memiliki rumah ini. Rumah yang sering kali ibu hina-hina, namun faktanya ingin ibu miliki sendirian. Menakutkan sekali. Jujur sekarang Rana merasa aneh dan bertanya-tanya, kenapa ayah bisa mau menikah dengan wanita sekejam ibu. Bahkan Rana merasa panggilan ibu tidak pantas untuk wanita segila anda."
Putar arah agar bisa langsung masuk ke dalam kamar pribadinya yang tidak seberapa besar, Rana mendengar teriakan adik tirinya dari bilik kamar sebelah. Lusi, adik tiri Rana yang baru masuk sekolah menengah atas sudah dengan kurang ajar meminta banyak hal kepada ibu kandungnya sendiri, sampai merepotkan wanita tua itu.
Yang terakhir Rana ketahui, permintaan Lusi amat sangat diluar nalar, yakni meminta ponsel mahal seharga hampir 20 juta kepada ibunya.
"KAPAN MAMA BISA PENUHIN KEINGINANKU? KAPAN, MA? AKU UDAH MALU BANGET NIH. SEKOLAH DI TEMPAT MAHAL TAPI HPNYA MASIH MERK LAMA. MANA ADA DI SEKOLAHKU YANG PAKAI HP MERK INI!! BURUAN CARI UANG. AKU MAU YANG PALING MAHAL!! KALAU HPKU AJA ENGGAK BISA YANG MAHAL, GIMANA BISA PUNYA MANTU ORANG KAYA!!"
![](https://img.wattpad.com/cover/338854030-288-k848231.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Goyangan Panas sang Biduan
Fiksi UmumRana seorang biduan dari kampung air menjadi orang nomor satu yang sering dibicarakan. Bukan hanya kecantikannya yang membuat semua mata terpikat padanya, tetapi juga karena suara dan goyangannya yang membuat banyak orang tergila-gila. Terutama pria...