3. 300 ribu dapat apa?

1.2K 13 0
                                    

Warning! 21+

Tidak ada kata terima kasih sedikitpun! Dasar perempuan gila! Umpatan itu hanya bisa memenuhi otak Rana pagi ini. Sudah untung ia berikan uang sebesar 300 ribu kepada ibunya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, seperti yang perempuan itu katakan semalam. Akan tetapi sialnya, Ida, itulah nama sang ibu tiri, malah tidak ada ucapan terima kasih sedikitpun kepada Rana.

Menerima uang 300 ribu itu sambil terus mendumal kesal, lirikan mata Ida menusuk tajam, melihat gerak gerik Rana yang baru saja bangun ketika hari sudah cukup siang. Padahal harapan Ida, Rana bisa bangun pagi dan membantunya mengurus rumah kala gadis itu tidak memiliki acara manggung hari ini. Namun, menurut versi Ida, karena Rana sudah memberikan banyak uang makan dan uang sekolah Lusi kepadanya, Rana bisa bangun tidur seenaknya. Seperti Nyonya rumah yang sering kali ada dalam dunia sinetron pertelevisian.

"Eh, lo gak ada manggung hari ini?"

Terdiam sejenak, Rana menggeleng. Tangannya mengangkat tudung nasi di atas meja kayu, dengan harapan ada sedikit makanan untuk ia sarapan pagi ini, namun sayangnya takdir yang terjadi selalu tidak pernah berjalan seiring dengan harapan.

Sedikit menunjukkan ekspresi kecewa, Rana kembali melirik Ida dengan kening berkerut. "Kenapa lagi?"

"Lo kalau gak manggung, minimal masak, lah! Si Lusi kasian nanti laper. Emang lo mau lihat ibu sama adik lo kelaperan? Gak, kan? Jadi mending masak deh. Buruan! Mumpung si Lusi belum bangun."

"Ibu minta apa? Rana masak? Buat Lusi? Dia aja suruh masak sendiri. Masa masak mie aja gak bisa!"

Langsung kabur demi menghindari perdebatan ini, benar saja telinga Rana terasa panas saat teriakan ibunya terdengar jelas memaki dan menghina dirinya karena diminta masak saja banyak sekali alasan penolakan. Padahal merawat orangtua disaat anak sudah besar adalah sebuah kewajiban. Selalu kalimat itu yang Ida ulang-ulang, sampai Rana muak mendengarnya.

Demi menenangkan pikirannya, Rana memilih duduk di kursi plastik, pada teras rumahnya. Terdiam, melamun, memandang kerikil tanah yang ada di pekarangan rumahnya ini, suara ayam berkokok seolah menjadi backsound dari kondisi yang terjadi dalam hidupnya. Belum genap 20 tahun, Rana harus menjalani peran berat dalam kehidupan, yakni menjadi tulang punggung keluarga. Sekalipun Ida dan Lusi bukanlah keluarga realnya, mereka berdua hanya orang asing yang kebetulan masuk ke dalam kehidupan sang ayah sebelum laki-laki itu wafat, nyatanya malah menambah beban hidup Rana. Selalu saja ada emosi disetiap harinya. Apalagi jika Rana tidak ada panggilan untuk manggung, seharian, Ida akan mengoceh banyak hal kepada Rana. Termasuk Hinaan dan cacian.

Tetapi karena Rana sudah terbiasa mendengar suara berisik dari musik dangdut yang selalu ia nyanyikan dari panggung ke panggung, seharusnya Rana tidak risih lagi dengan hinaan dan cacian yang terucap dari mulut Ida. Karena dia adalah penguasa musik dan panggung ketika acara tersebut dimulai.

Sama halnya dengan kehidupan ini, Rana adalah penguasanya. Ini hidupnya. Mau seburuk apapun dirinya, tetap saja tidak ada hak orang lain untuk mengatur dan menghina hidup Rana sampai kapan pun.

Terdengar suara gesekan sendal jepit, dan jalanan tanah berpasir di halaman depan rumahnya, lamunan Rana seketika terhenti. Mengangkat pandangannya, dan tersenyum lebar, ternyata yang datang ke rumahnya pagi ini adalah bu Lurah, bu Septi, yang semalam baru saja selesai menggelar hajatan di rumahnya. Terburu-buru melangkah, menghampiri kedatangan beliau, Rana terus saja menampilkan senyuman indah dibibir mungilnya itu.

"Bu Septi, ada apa atuh bu, pagi-pagi sampai repot-repot datang ke rumah Rana. Ada yang bisa Rana bantu?"

"Hahaha, enggak repot. Ini ibu bawa kabar baik dari bapak."

Goyangan Panas sang BiduanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang