2

409 32 3
                                    

Taeyong kesiangan.

Ia seakan tuli dengan alarmnya yang sudah berbunyi sejak pagi buta. Mungkin ia harus menyalahkan tumpukan pekerjaannya yang baru bisa ia selesaikan lewat tengah malam.  Ia baru terbangun, saat jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Jam sekolah Minhyung dimulai pukul 8, dan kini ia bahkan belum mempersiapkan apapun. Jadi dengan segera, ia bangkit dari kasurnya, dan dengan terburu-buru menyiapkan semua kebutuhannya dan Minhyung dengan cepat.

Tak lupa ia bangunkan Minhyung pula. Taeyong sedikit bersyukur, karena Minhyung adalah anak yang mandiri walaupun ia baru duduk di bangku taman kanak-kanak. Tanpa perlu diperintah, Minhyung pergi ke kamar mandi untuk mandi sendiri. Taeyong pun hanya menyiapkan baju yang akan Minhyung pakai dan segera berlari ke dapur untuk menyiapkan masakan untuk mereka berdua. Taeyong berencana menyiapkan nasi goreng untuk sarapan.

Tapi sepertinya keberuntungan lagi-lagi tak berada di pihaknya hari ini. Ia kehabisan nasi. Taeyong menghela nafas berat, diliriknya jam dinding yang berada di dapur yang menunjukkan waktu hampir jam setengah 8 pagi. Ia pun segera mengecek persediaan nasi instannya. Untungnya ia masih memiliki satu bungkus. Paling tidak, Minhyung tak akan kelaparan. Kalau untuk dirinya, itu perkara mudah. Ia bisa membeli kimbab atau roti di jalan.

Segera ia menyiapkan sarapan untuk Minhyung dengan terburu-buru, hingga kemudian bocah lima tahun itu menghampiri dirinya.

“Appa, kaos kaki Minhyung mana?”

“Hah? Kaos kaki yang mana?”  Tanya Taeyong tanpa mengalihkan perhatiannya dari masakannya.

“Kaos kaki Minhyung yang gambar paus, appa.”

“Minhyung pake kaos kaki yang lain aja dulu ya? Appa juga lupa dimana kaos kakinya.” Minhyung merengut tidak suka. Ia hanya ingin memakai kaos kaki paus kesukaannya, tapi kenapa bahkan ia tak bisa mendapatkannya.

“Appa….” Suara Minhyung yang merengek, berhasil mengalihkan perhatian Taeyeong. Buru-buru ia mematikan kompornya dan berlutut di hadapan Minhyung.

“Minhyung, tolong nurut sama appa ya. Sekarang kita udah telat, appa nggak ada waktu buat nyari kaos kaki Minhyung. Nanti ya, appa janji bakal cariin kaos kaki Minhyung.” Akhirnya Minhyung menyerah, ia pun menyetujui appanya meskipun air matanya tetap membasahi pipinya.

“Minhyung sekarang duduk di kursi makan, Appa mau siapin sarapan buat Minhyung.” Minhyung pun menuruti ucapan appanya sekali lagi. Ia pun segera menempatkan diri di meja makan dan menunggu sarapannya siap.  Taeyong yang melihatnya hanya bisa tersenyum sedih. Perasaan bersalahnya, sampai kapanpun tak akan pernah hilang.

Taeyong disambut oleh sang mama, Boa, saat tiba di kediaman orang tuanya. Hari ini pekerjaannya masih belum berkurang, bahkan terus bertambah. Ia bahkan melewatkan waktu makan pagi dan makan siangnya. Beruntung salah satu rekan kerjanya menawarkan sebungkus snack bar untuknya, jadi ia tak sampai pingsan.

“Kamu udah makan? Ya ampun, kamu tuh kebiasaan banget sih nunda makan. Untung aja kamu ga sakit. Coba liat itu badan kamu tambah kecil aja.” Taeyong hampir berusia 30 tahun, tapi kebiasaan sang mama untuk mengomelinya sepertinya tak akan pernah hilang sampai kapanpun. Dan sang mama, tak akan pernah melewatkan setiap kesempatan untuk menyeret Taeyong ke meja makan. Seperti saat ini, ia memaksa Taeyong untuk makan di sebelah sang papa yang tampak tenang menyantap makanannya.

“Ma, liat kaos kaki Minhyung yang gambar paus nggak?” Seakan tak menggubris omelan sang mama, Taeyong justru menanyakan kaos kaki Minhyung yang tadi pagi dicari bocah itu.

“Ohhh…itu. Ada itu, mama simpen. Kapan hari kan kamu ninggalin di sini, jadi ya mama simpenin dulu. ” Taeyong mengangguk-angguk tanda paham.

“Taeyong, Minhyung besok nginep sini aja ya kalo kamu masih banyak kerjaan. Tadi Minhyung cerita kalo kalian tadi pagi kesiangan, dan kamu gak sarapan.”

“Nanti deh, Taeyong pikirin lagi. Kalo sekarang Taeyong masih sanggup.”

“Kamu nggak ada niat buat nyari pendamping lagi?” Pertanyaan sang papa membuat Taeyong menghentikan acara makannya. Ia tak pernah suka ditanyai pertanyaan semacam itu, baginya Doyoung hanya satu-satunya dalam hidupnya.

“Berapa kali sih Taeyong harus bilang, kalo Taeyong nggak akan pernah nikah lagi. Taeyong cuman mau nikah sekali seumur hidup, dan itu cuman sama Doyoung.”

“Kamu emang ga mikirin, Minhyung? Kamu gak bisa terus-terusan sendirian ngerawat dia, kamu perlu pendamping. Mama kamu itu udah tua, gak bisa terus-terusan ngurus Minhyung.”

“Pa…” Boa memperingatkan Yunho karena suasana ruang makan yang tiba-tiba terasa tegang.

“Oh, jadi mama sama papa sebenernya keberatan buat ngasuh Minhyung? Oke kalo gitu mulai besok, Taeyong ga akan nitipin Minhyung di sini.” Kedua orang tua Taeyong terkejut mendengar ucapan Taeyong, terlebih Yunho. Ia tak menyangka Taeyong akan menjawab seperti ini, karena biasanya ia hanya akan menggumam tak jelas dan mengacuhkan pertanyaan sang papa.

“Taeyong, maksud papa nggak gitu. Mama beneran nggak keberatan dititipin Minhyung.” Boa berusaha meredakan amarah sang putra.

“Nggak usah, ma. Maaf kalau selama ini Taeyong ngerepotin mama terus. Taeyong pamit.” Taeyong beranjak dari kursinya, meninggalkan makananya yang bahkan belum habiskan hingga separuh. Ia kemudian menghampiri Minhyung yang telah terlelap di sofa ruang keluarga. Dibawanya Minhyung dalam gendongannya, setelah sebelumnya ia merapikan barang-barang putranya itu.

“Taeyong, mama sama papa minta maaf. Kamu sama sekali nggak repotin kita. Taeyong…” Taeyong tak bergeming, ia terus  berjalan menuju mobilnya.

"Taeyong, dengerin mama dulu nak…"

“Taeyong pergi, ma.”  Tanpa memperdulikan sang mama, Taeyong segera menjalankan mobilnya meninggalkan kediaman orangtuanya.

“Appa, Minhyung nggak mau nunggu appa di daycare lagi. Minhyung mau sama nenek aja.” Kata Minhyung di suatu hari. Ini sudah seminggu semenjak Taeyong berselisih dengan orangtuanya. Dan ia benar-benar menepati perkataannya untuk tidak menitipkan Minhyung lagi di rumah mereka.  Taeyong bahkan menolak untuk menjawab pesan atau mengangkat telepon dari sang mama.

“Emang kenapa,Minhyung?”

“Minhyung nggak suka, enakan di rumah nenek.”

“Kamu cuman belum terbiasa aja, nanti lama-lama kamu pasti bakalan suka kok di daycare.” Minhyung hanya diam, tak menjawab perkataan Taeyong. Ia kesal karena permintaannya tidak dikabulkan oleh Taeyong.

“Atau Minhyung mau pindah daycare aja? Nanti appa cariin daycare lain.” Minhyung tetap bergeming, ia hanya menginginkan neneknya. Tapi appanya bahkan tak mau menuruti permintaanya.

“Maaf ya, Minhyung. Mulai sekarang kamu harus terbiasa appa titipin di daycare. Appa nggak bisa nitipin kamu di rumah nenek lagi.”

Keduanya akhirnya hanya diam selama perjalanan menuju apartemen mereka. Minhyung yang kesal dengan appanya, dan Taeyong yang masih kekeuh dengan pendiriannya. Walau begitu, keduanya tetap berjalan sembari bergandengan tangan.

Hingga saat mereka mulai mendekati unit apartemen mereka.

“Appa, itu apa?” Seru Minhyung sembari menunjuk bungkusan besar. Taeyong yang segera menangkap apa yang dimaksud Minhyung.

Taeyong berjalan dengan cepat karena amarah. Pikirnya, siapa yang dengan berani meninggalkan bungkusan sampah di depan kediamannya. Minhyung yang melihat appanya tampak emosi, hanya diam mengikuti di belakang.

Kresek… 

Langkah Taeyong dan Minhyung terhenti, saat melihat bungkusan besar itu tiba-tiba bergerak.

“Appa….” Minhyung memanggil ayahnya dengan suara lirih karena takut. Taeyong pun segera memasang mode siaga.

“Minhyung tunggu di sini. Biar appa lihat dulu itu apa.” Minhyung pun menurut.

Perlahan Taeyong mendekati bungkusan itu, dapat ia lihat bungkusan besar itu tidak terikat. Dengan penuh hati-hati, ia membukanya. Tepat saat akhirnya ia dapat melihat isi di dalam bungkusan itu, tubuhnya seketika membeku. Ia tak percaya dengan apa yang ia lihat, rasanya semua seperti mimpi. Kesadaran Taeyong kembali saat Minhyung menggoyangkan lengannya. Seketika ia kembali pada realita yang berada tepat di depannya.

“Do….Doyoung….”

Kembali PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang