4

316 19 6
                                    

Doyoung terbangun dengan rasa sakit di tubuhnya. Rasa sakit yang disebabkan kelelahan, seakan baru saja menyelesaikan lomba lari marathon. Ia memperhatikan ke sekelilingnya, rupanya kini ia berada di dalam kamarnya. Ia mengusap perutnya, merasa heran kenapa bayinya tak membangunkannya. Tapi alangkah terkejut dirinya saat menyadari perutnya telah kempis. Dimana bayinya?

“Doyoung?” Suara Taeyong mengalihkan perhatian Doyoung.

“Hyung, anak kita kemana? Kenapa perut aku nggak gede lagi?” Tanya Doyoung dengan nada panik. Sesaat Taeyong hanya diam tak menjawab apapun.

“Doyoung, kamu lupa?”

“Ha? Lupa apa?”

“Kamu udah ngelahirin lima tahun lalu. Kamu harus ngelahirin lebih cepet karena kamu kecelakaan, dan kamu….”

Doyoung terdiam, mencerna ucapan Taeyong. Lalu seperti mendapat pencerahan, Doyoung pun langsung teringat sesuatu. Buru-buru ia mengangkat kaosnya. Tidak hanya Doyoung, Taeyong pun terkejut melihat bekas luka jahitan yang melintang di atas perut Doyoung. Itu adalah bekas dari proses kelahiran Minhyung, Taeyong sangat tahu itu. Bekas luka yang berada tepat di bawah tanda lahir Doyoung yang berada di perutnya.

Doyoung kemudian sadar bahwa ia memang sudah meninggal lima tahun lalu, dan selama lima tahun ia berkeliaran di sekitar Taeyong dan anak mereka sebagai roh. Dan kini ia berada dalam program "second chances".

“Oh iya, aku udah mati.” Doyoung buru-buru membekap mulutnya saat ia sadar telah salah berbicara. Ia melirik takut-takut ke arah Taeyong yang kini tengah menatapnya dengan pandangan horor.

“Hyung, dimana Minhyung?” Doyoung kemudian menanyakan putranya, berusaha mengganti topik agar suasana canggung diantara mereka menghilang.

“Minhyung-”

“Appa.” Sebuah suara anak kecil mengalihkan perhatian keduanya. Minhyung tengah berdiri di ambang pintu kamar orangtuanya lengkap dengan seragam sekolahnya.

“Minhyung….anak papi.”

“Minhyung, sini dulu nak.” Panggil Taeyong agar Minhyung mendekat padanya dan Doyoung.

“Appa, Minhyung udah telat. Ayok berangkat.”

“Sini dulu, Minhyung.”

“Nggak mau, appa. Minhyung mau sekolah” Minhyung masih berpegang pada pendiriannya, tentu saja hal itu membuat Doyoung yang melihatnya merasa sedih.

“Hyung, anterin aja Minhyung dulu ke sekolah. Bentar lagi kan jam masuknya.” Ujar Doyoung dengan nada sedih.

“Tapi, kamu….” Taeyong merasa ragu untuk meninggalkan Doyoung sendirian.

Tidak, dia tidak hanya merasa ragu. Ia takut kejadian lima tahun lalu akan terjadi lagi. Ia takut Doyoungnya pergi saat ia kembali nanti. Bayangan saat ia berpamitan pada Doyoung terakhir kali dan janji mereka untuk makan malam bersama yang tak akan pernah bisa mereka tepati itu berkelabat dalam ingatannya.

"Aku bakal tetep ada disini waktu hyung pulang nanti. Kali ini aku bakal nunggu sampai hyung pulang." Ujar Doyoung seakan mengerti kekhawatiran Taeyong.

Taeyong menarik nafas dalam, ia menyerah.

"Aku pergi dulu ya, Doyoung." 

***

Taeyong tak memungkiri, perasaannya  bercampur aduk saat ini. Ia bingung dengan apa yang baru saja terjadi, berusaha mencari penjelasan paling logis yang bisa ia pikirkan. Tapi ia juga begitu bahagia, setelah lima tahun akhirnya ia dapat kembali melihat Doyoungnya. Terkadang perasaan takut juga ikut hadir. Bagaimana jika ini semua hanyalah bagian dari mimpinya?

Kembali PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang