1

250 35 3
                                    

Galen memandang langit-langit di atasnya dengan hampa. Ia sendirian di ruangan yang penuh dengan alat-alat kedokteran ini. Nafasnya terasa berat dan seluruh tubuhnya sakit. Matanya melirik ke arah pintu yang tertutup. Sejak ia pertama kali berada di sini hanya dokter atau perawat yang pernah memasuki ruangan ini. Tidak ada yang lain, tidak teman-temannya maupun anak-anaknya.

Matanya berkaca-kaca teringat kedua anaknya. Sejak tahun lalu keduanya memutuskan hubungan dengannya. Ia tidak pernah lagi mendengar berita tentang keduanya. Seharusnya bungsunya sudah lulus SMA, kan? Mereka berdua sudah dewasa, mereka tidak membutuhkannya lagi.

Ini semua salahnya, sebenarnya. Ia tidak pernah memberi tahu mereka kenyataan bahwa ia sakit. Ia juga mengacuhkan mereka dan membuat mereka membencinya. Puncaknya setahun lalu ia tidak sengaja merusak pemberian dari ibu mereka alias mantan istrinya. Putra bungsunya marah besar karena itu. Ia mengucapkan kata-kata yang tidak pantas dan Galen tanpa sengaja menamparnya. Lingga, putra sulungnya yang melihat itu langsung murka padanya. Anaknya itu langsung membawa adiknya entah ke mana dan tidak pernah menghubunginya lagi.

Saat itu ia ingin langsung mengejar mereka, tapi penyakitnya kambuh. Ia baru terbangun beberapa hari kemudian di ruangan ini. Galen berusaha mencari mereka. Tentu saja ia berhasil, tapi menemukan mereka dan mendapatkan maaf dari mereka itu berbeda. Mereka berdua bahkan tidak mau bertemu dengannya.

Lalu pemikiran itu tiba-tiba datang. Ia akan mati sebentar lagi. Kalau mereka membencinya, bukankah setidaknya mereka tidak akan terlalu sedih karena dirinya?

Akhirnya Galen memilih untuk mundur teratur. Ia tidak pernah lagi menghubungi mereka, hanya sesekali menanyakan kabar mereka lewat orang yang ia bayar untuk menjaga mereka dari jauh. Ia membiarkan mereka berpikir bahwa seorang Galen Ganendra tidak menyayangi Kalingga dan Elvano.

Galen mengernyit saat dadanya terasa semakin sakit. Nafasnya terasa semakin berat.

Ia berharap kedua anaknya tidak merasa sedih saat mengetahui ia sudah meninggal. Ia berharap Elvano tetap bisa tersenyum di hari ulang tahunnya. Ia berharap Lingga tidak kewalahan meneruskan perusahaannya. Ia berharap mereka berdua tidak terpisahkan, sehingga mereka bisa terus saling menjaga.

"PAPA!"

Galen tersenyum tipis mendengar suara yang sangat dirindukannya. Ia masih ingat sampai sekarang betapa bahagianya ia saat kata pertama yang diucapkan Lingga adalah 'papa'. Ia masih ingat dengan jelas bagaimana setiap menginginkan sesuatu Vano kecil akan menggelayut di kakinya sambil terus memanggilnya, "Papa~ papa~". Ia juga masih ingat tatapan terluka anak itu saat mengatakan, "Aku benci Papa!"

Galen sangat menyayangi kedua anak itu, sampai ia rela memberikan apapun asalkan ia tidak melihat wajah sedih mereka seperti sekarang. Walaupun pandangannya samar, Galen dapat mengetahui dengan jelas orang yang baru memasuki ruangan ini bukan dokter. Ia ingin bersikap tenang seolah ia baik-baik saja seperti biasa, tapi bahkan ia hampir tidak bisa menarik nafas.

"Dokter!"

Ah, mereka hilang.

Galen setuju. Lebih baik begitu. Ia tidak akan bisa meninggalkan dunia ini jika mereka berdua ada di hadapannya, berusaha menghentikannya.

***

Prangg...

Galen tersentak mendengar suara itu. Ia langsung terduduk sebelum kemudian meringis karena kepalanya terasa sakit. Ia mengurut keningnya sebelum kemudian turun dari kasurnya. Ia mengerutkan alis melihat beberapa botol alkohol di atas nakasnya. Seingatnya sudah hampir 3 tahun Galen tidak pernah menyentuh alkohol lagi. Walaupun begitu, ia masih ingat jelas bagaimana rasanya mabuk dan ia yakin sakit kepalanya ini karena mabuk, bukan karena penyakitnya.

HancaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang