2

160 23 7
                                    

"Hiks... hiks..."

Lingga memeluk adiknya yang tidak berhenti menangis sejak tadi. Mereka hendak pulang karena mama sudah memasuki ruang tunggu, tapi karena Vano tidak berhenti menangis, mereka masih berada di sana. Setelah ini mereka akan kembali ke rumah papa dan Lingga harus membereskan barang-barangnya.

"Sudah, ya? Kan nanti bisa telponan sama mama. Sekarang udah canggih, Dek. Lagian udah gede juga, emang nggak malu dilihatin banyak orang?" bujuk Lingga.

Duk. "Aduh! Kok gue dipukul, sih?"

"Abang ngeselin!" gerutu Vano sambil menghapus air matanya.

"Lo cengeng kayak cewek," balas Lingga sambil melenggang menjauhi Vano yang kini mengejarnya.

"ABANG, IH!"

Lingga tertawa saja saat Vano mendorong punggungnya berkali-kali. Ia akhirnya merangkul Vano sambil berjalan ke arah mobilnya. "Gue sekarang tinggal serumah sama lo, nih. Nggak seneng apa?"

"Senenglah!" jawab Vano sambil tersenyum lebar. Melupakan matanya yang masih basah oleh air mata.

Lingga ikut tersenyum melihatnya. Adiknya ini memiliki senyum menggemaskan yang membuat semua orang ikut tersenyum melihatnya tersenyum. Senyumnya lebar hingga kedua matanya menyipit, membuatnya terlihat sangat tulus memberikan senyuman itu. Setiap melihat adiknya itu tersenyum, rasanya Lingga bisa memberikan dan melakukan apapun untuknya. Padahal ada Vano di rumahnya, tapi bisa-bisanya papanya itu malah sibuk bekerja dan mengabaikan adiknya ini?

"Tapi abang jangan sibuk juga, ya? Percuma tinggal serumah tapi jarang ketemu," celetuk Vano begitu mereka duduk di dalam mobil.

"Iya," balas Lingga sambil mengacak rambut adiknya itu.

***

Galen sengaja pulang cepat hari ini karena hari ini Lingga mulai tinggal di rumahnya. 

Ia baru mengetahuinya karena Lei yang tadi mengiriminya pesan protes karena tidak diberi tahu terlebih dulu. Kalau diberitahu terlebih dulu ia bisa membersihkan dengan benar kamar Lingga yang hampir tidak pernah ditempati karena biasanya setiap menginap ia akan tidur di kamar Vano, begitu katanya. Yah, bagaimana Galen bisa memberitahunya terlebih dulu kalau ia bahkan baru tahu?

Baiklah, ia tahu kalau Lingga akan pindah ke rumahnya dalam waktu dekat ini, tapi Galen tidak ingat waktu tepatnya kapan. Galen sudah menunda pekerjaan-pekerjaan yang mengharuskannya pergi ke luar negeri demi menyambut hari itu, tapi ia malah lupa memberi tahu Lei untuk menyiapkannya. Lagipula ia tidak berpikir hal tersebut akan terjadi tidak sampai seminggu ia kembali ke masa lalu.

Ia ingat ini menjadi salah satu nilai minusnya dulu karena kedua anaknya menganggapnya tidak senang Lingga pindah ke rumahnya. Saat itu Galen sedang ada pekerjaan di luar negeri, jadi tentu saja ia tidak bisa menyambutnya. Putranya itu berkata, kalau ia memang tidak bisa menyambutnya, setidaknya kamar untuknya sudah disiapkan dengan baik karena Galen pasti tahu kalau ia akan mulai tinggal di sana.

Sebenarnya, saat itu Galen sama sekali tidak punya petunjuk mengenai hal itu. Ia sudah lama tidak berhubungan langsung dengan mantan istrinya. Wanita itu juga sama sekali tidak pernah mengabarinya bahwa ia menyuruh Lingga pindah ke rumahnya. Padahal kalau ia diberitahu, ia akan dengan senang hati menyambut Lingga walaupun harus menunda beberapa pekerjaannya.

"Anak-anak sudah makan?" tanya Galen begitu mendapati Lei yang sedang melakukan sesuatu di ruang makan.

Kepala pelayan di rumahnya itu langsung berdiri begitu melihatnya, "Sudah, Tuan."

Galen menggeleng-geleng melihatnya. Lei itu hanya beberapa tahun lebih tua darinya, Galen bahkan sudah berkali-kali menyuruhnya melepaskan kekakuannya itu. Mereka pergi sekolah bersama dulu, kenapa ia harus bertingkah seperti Galen adalah tuannya atau semacamnya? Yah, bukannya Galen tidak tahu alasannya. Keluarga Lei sudah mengabdi pada keluarganya sejak dulu. Ayahnya adalah kepala pelayan di rumah ini juga dulu. Saat beliau meninggal, pekerjaannya dialihkan pada Lei. Ayah Lei adalah orang paling strict yang pernah ia kenal, karena itu Lei juga seperti itu. Paman Fei, ayahnya Lei bahkan sering memarahi Lei karena bermain dengan Galen. Galen bersyukur setidaknya Lei mau mengatakan pendapatnya pada Galen, bukannya hanya mengikuti kemauan Galen secara membabi buta. Ia bahkan berani protes padanya kalau ada hal yang tidak sempurna seperti tadi.

HancaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang