Galen membaringkan tubuhnya di sofa kemudian menutup matanya dengan lengan kanannya. Sudah sebulan ia kembali ke masa lalu dan ia masih tidak tahu apa tujuannya kembali ke masa lalu. Ia bukan tipe orang yang menyesali masa lalu dan sejujurnya, jika ditanya apakah ia ingin kembali ke masa lalu atau tidak, Galen akan dengan tegas menjawab tidak.
Kita tidak pernah tahu apa pilihan terbaik yang "seharusnya" kita pilih di dunia ini. Apa yang kita pilih selalu merupakan pilihan terbaik "menurut" kita. Galen sudah melakukan itu. Ia selalu memilih pilihan terbaik menurutnya selama ia hidup.
Galen memiliki penyesalan? Tentu saja. Seseorang pernah berkata bahwa manusia itu adalah hewan yang penuh dengan penyesalan. Ia menyesal membuat anak-anaknya membencinya. Galen menyesal untuk melakukan itu ia harus menyakiti kedua belahan hatinya yang selalu ia sayangi melebihi dirinya sendiri. Tapi tetap saja, bahkan sekarangpun Galen masih berpikir bahwa menyembunyikan penyakitnya adalah pilihan terbaik yang akan tetap dipilihnya.
Alasannya tidak ingin kembali ke masa lalu lebih kepada, ia tidak ingin mengalami kembali semua kesakitan yang dialaminya dalam tiga tahun ini. Baik fisik maupun batin, Galen selalu merasa sakit. Tumor di otaknya, dibenci anak-anaknya, kehilangan orang-orang yang sangat berharga dalam hidupnya, Galen tidak ingin mengalami semua itu lagi.
Toktoktok
"Pa? Lho, tidur?"
Galen menurunkan lengannya mendengar suara Lingga, "Papa nggak tidur."
Ia bangkit mendengar suara langkah kaki mendekat. Ia tersenyum lemah pada anaknya yang sepertinya datang membawa pekerjaan baru. Sudah sebulan ini, saat Lingga sedang senggang, ia akan datang ke kantornya untuk belajar mengurus perusahaan. Ia tidak tahu Lingga cukup hebat melakukannya. Seingatnya dulu saat masih awal belajar, Lingga benar-benar payah sampai Galen terus memarahinya.
"Papa sakit?"
Galen menggeleng kendati seluruh otaknya meneriakkan iya. Ia meluruskan posisinya, "Ada apa?"
Lingga mendekat dan duduk di sampingnya, "Ini perlu tanda tangan papa. Yang ini..."
Galen mengangguk mendengar penjelasan Lingga, "Ada lagi?"
Lingga menggeleng, "Oh, kemaren Om Nara telpon, katanya papa nggak pernah balas pesannya."
Deg. "Siapa?"
"Om Nara. Nararya Ganendra. Papa nggak lupa kalau punya adik, kan?" tanya Lingga setengah menyindir.
"Nggak, bukannya lupa..." Galen menjawab dengan linglung. "Papa nggak dapet pesan apa-apa dari om-mu."
"Hah?"
Toktoktok. "Permisi, Pak. Ada telpon dari adik bapak."
Galen menoleh ke arah pintu, masih sepenuhnya bingung dengan informasi yang baru diterimanya. Ia pikir adiknya sudah meninggal. Tidak. Ia bahkan tidak pernah memikirkan adiknya sejak ia kembali ke masa ini. Kepergian adiknya adalah salah satu hal paling menyakitkan yang ia alami. Ia bahkan masih merasakannya sampai sekarang. Hal itu juga yang membuat Galen hilang akal dulu. Ia jadi menjauh dari anak-anaknya, tapi juga sekaligus semakin keras pada mereka. Dipikirannya dulu adalah, adiknya yang sehat bahkan pergi meninggalkannya tiba-tiba, bagaimana jika ia mati? Kepada siapa anak-anaknya akan berpegangan nanti?
"Pa! Kok malah bengong? Itu Om Nara telpon. Kemaren dia ngomel-ngomel, katanya papa yang nyuruh pulang, tapi pas dihubungin malah ngilang."
Galen mengepalkan tangannya, "Lingga, sekarang tanggal berapa?"
"Ya?" meskipun bingung, Lingga menyebutkan tanggal hari ini.
Menyadari hari ini merupakan sehari sebelum adiknya meninggal di masa lalu, Galen dengan cepat berjalan ke arah teleponnya. Ia berharap ia sempat membuat Nara tidak naik pesawat itu, karena pesawat itu akan jatuh besok pagi. Ia tidak akan sanggup bertahan lagi kalau adik satu-satunya itu kembali mati begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanca
FantasyHanca-Pekerjaan yang tertunda Galen tidak pernah menyangka ia akan kembali ke tiga tahun sebelum kematiannya. Akan tetapi, setelah ia yakin ia akan mati, saat ia membuka matanya ia sudah berada di kamarnya. Ia kembali ke masa di mana anak-anaknya be...