"Jaz, bagaimana? Kau sudah membeli bahan-bahannya?" tanya Viola melalui telepon di malam itu.
Jaz masih belum menjawab, karena ia juga tampak sibuk dengan apa yang ia lakukan sekarang. Gadis itu tengah menyiapkan beberapa keperluan untuk besok.
"Aduh, Vi! Aku belum mencetak stikernya, bagaimana ini?" tanya Jaz dengan raut sedih, ia benar-benar lupa hari ini. Terlebih gadis itu hanya memiliki waktu sedikit untuk menyiapkan semuanya.
"Kau ini! Tapi semua bahan sudah ada?"
"Iya sudah, tinggal stiker dan ... beberapa hal kecil lain. Ah! Aku melupakan margarinnya!" Jaz menepuk dahinya, ia benar-benar kacau saat ini. Gadis itu memang gampang pelupa, dan kebodohannya adalah tidak mencatat semua di dalam ponselnya saat belanja kemarin.
"Astaga, Jaz. Ini jam 7, kau harus cepat! Aku takut jika kau kemalaman membuatnya. Besok harus diserahkan untuk ujian."
Jaz paham, ia segera menganti pakaiannya yang lebih sopan dan bergegas mengambil tas. "Ya, aku pergi. Sampai jumpa besok, jangan khawatirkan aku."
Telepon dimatikan sepihak oleh Jaz sebelum Viola sempat menjawab, gadis dengan setelan baju santai itu pun segera bergegas turun ke bawah untuk melaporkan keadaan daruratnya.
"Ibu!" panggil Jaz pada sosok wanita yang tengah duduk di ruang tengah. "Di mana ayah? Aku membutuhkannya, aku perlu keluar untuk membeli beberapa bahan."
"Di depan. Kenapa tidak sendiri?"
Jaz menggelengkan kepalanya. "Aku terlalu melas mengendarai motor sendiri. Lagipula malam seperti ini membuatku takut."
"Apa yang akan kau beli? Katanya akan memulai praktek? Jangan malam-malam, Jaz. Aku takut kau selesai tengah malam," tutur sang Ibu.
"Ya, aku mengerti. Aku keluar untuk membeli margarin dan mencetak stiker," balas Jaz sembari berjalan menghampiri sang Ayah.
Wanita berusia 40an itu pun menggeleng tak percaya. "Mengapa kau selalu melupakan sesuatu? Harusnya semua bahan kau catat, kemudian membelinya satu persatu agar mudah."
"Aku tahu. Tapi aku lupa, aku pikir Ibu masih memiliki sisa margarin."
"Ah, sudah habis. Kalau begitu Ibu ingin kau membeli obat sekalian, aku tahu obatmu telah habis," ucap wanita itu sembari memberikan sejumlah uang.
Malam itu Jaz yang memilih diantar oleh ayahnya pun berangkat untuk membeli bahan yang kurang, serta menjalankan tugas yang diberikan ibunya untuk membeli obat yang selalu dikonsumsi Jaz.
"Sudah semua, Jaz?" tanya pria yang jauh lebih tinggi darinya. Jaz memeriksa semua yang ada di dalam tas kresek di tangannya, kemudian mengangguk dengan semangat. "Baiklah, kita pulang sekarang."
Besok ujian praktek, dan Jaz diminta untuk membuat makanan yang nantinya akan diperjualbelikan kepada konsumen, target pasarnya ada di sekolah dan Jaz harus berusaha membuat makanan yang bisa menarik pembeli. Maka dari itu si gadis memilih membuat brownies.
Dengan dibantu oleh ayah dan ibunya, si gadis berusaha dengan keras melakukan apa yang ia bisa. Mulai dari mengocok adonan, menambahkan bahan-bahan serta menuangkan adonan ke dalam loyang yang kemudian dikukus.
"Tampaknya ini akan lezat," ujar pria yang sedari tadi membantu anak gadisnya itu.
"Aku harap demikian."
Sang Ayah menoleh ke arah anaknya untuk sekilas. "Kalau kau lelah bisa istirahat sebentar di sana, Jaz. Biar Ayah yang menunggunya," ucapnya saat melihat wajah lelah dari putrinya.
Jaz menggeleng. "Tidak, ini tugasku, jadi biarkan aku meyelesaikan. Ayah saja yang istirahat, Ibu sudah tidur sejak 1 jam yang lalu."
Pria itu menatap jam. "Sudah pukul 12 ,kau berani di sini sendiri?" Tak menjawab, si gadis hanya mengangguk saja. "Sedikit lagi, biar Ayah temani. Ini sepertinya sudah matang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Crescendo
RomanceIni kisah tentang perjalanan rumit mengejar cinta. Kisah yang tak pernah usai sebelum sang bulan akhirnya menyerah untuk mengejar sang matahari. Tentang rasa tulus yang tak pernah cukup untuk meluluhkan seseorang. Jazlyn adalah gadis itu, sang bulan...