Adelita || 8

91 41 125
                                        

Setelah kembali pada rutinitas biasa, memang kadang beberapa hal sulit untuk berubah terlebih jika itu berlaku di eksternal. Seperti tatapan tidak suka yang tergambar jelas saat aku baru saja sampai di Sekretariat, beberapa dari mereka memang menyapa dengan senyum tapi mata tidak pernah bisa berbohong. Kepergianku kemarin dituntut memiliki nilai atau output yang bisa kubagi dengan mereka, meski sebenarnya itu hanya satu dari sekian banyak alasan yang dibebankan karena menurut mereka seharusnya bukan aku yang melangkah ke sana.

"Jadi gimana hasilnya? Ada nggak yang kamu bawa pulang?" tanya kak Julian.

Nadanya memang terdengar ramah, tapi mataku dengan jelas menangkap raut ketus yang ia lempar seolah aku benar-benar musuh yang tepat. Beberapa yang di sana menatap ke arahku, logika sedang bekerja dan memilah apa yang harus kusampaikan lebih dulu. Konflik atau sesuatu yang bisa membawa perubahan untuk Cabang kecil ini, ada beberapa yang sudah menarik sudut bibir saat aku masih diam.

"Dia itu pergi untuk mengurus kepemimpinan berkelanjutan, kalian mau harap output apa?"

Kak Zio datang, senyumnya mengembang lebih dulu ke arahku sebelum akhirnya melempar tatapan datar ke arah beberapa orang di sana. Kak Julian yang baru saja mengintimidasi dengan tatapan remehnya mengedarkan pandangan ke segala arah, kedatangan kak Zio tentu tidak sendiri karena kak Galih juga kak Calvin yang pasti bersama pujaan hatinya selalu datang bersama.

"Hai, Del ... apa kabar?" tanya kak Devi, "aku kemarin nggak sempet datang ke rumah kamu, Calvin udah mau jemput tapi aku yang nggak jadi."

"Kabar baik, Kak. Iya, nggak apa-apa aman kok."

"Lagi nanyain apa, Lian?" ujar kak Calvin, "kamu nggak capek ya bikin masalah terus?"

"Siapa yang bikin masalah, orang aku cuma nanya hasilnya ke dia dari pergi jauh-jauh. Semoga bukan hanya habiskan uang senior, ke sana ada tujuan yang juga harus diterapkan untuk masa depan cabang."

"Iya, pergi ke sana bukan hanya jalan-jalan apalagi cari pacar."

Celetukan Tari tentu saja didukung oleh beberapa orang di sana yang memang sekubu dengannya, aku semakin heran karena sejak awal sepertinya mereka tidak suka dengan apa yang dilakukan jika itu bukan orang dari kubu mereka. Protes ketika melihat orang lain ingin berkembang dan lebih maju, tapi sendirinya enggan berperan lebih dan mengambil posisi itu. Mereka berdua lebih senior dibanding yang lain, tetapi sejauh ini yang kuperhatikan caranya selalu saja mendorong junior sekubu untuk melakukan banyak hal. Tujuannya untuk apa? Jelas agar bisa diklaim ketika berhasil, sayangnya saat gagal mereka justru memalingkan wajah dan akan kembali merayu setelah suasana reda.

"Emang kamu nggak bawa oleh-oleh buat mereka?" tanya kak Zio, "kasian sih, nggak ikut bantu tapi mau dapat cipratannya juga."

Bukan hanya aku, mungkin kak Devi juga ikut tercengang dengan kalimat yang sudah jelas bukan lagi singgungan. Mulut pedas kak Zio tidak pernah berubah, jelas saja karena aku bukan pergi selama beberapa tahun dan dalam waktu singkat level pedasnya justru lebih jelas.

"Makanya, masih pagi jangan bangunin banteng lapar."

Kak Calvin mengikuti langkah kak Zio dan kak Galih ke dalam Sekretariat, aku menjadi lebih canggung tapi beruntung kak Devi tidak ikut masuk dan masih duduk di sampingku.

"Eh aku mau beli tinta spidol, Adel temenin aku, yuk?" ujar kak Devi, sepertinya ia membaca kecanggungan yang terjadi.

Tidak ada yang menahan, kak Devi langsung menarik lenganku pergi dari sana menuju motornya. Aku diam-diam tersenyum, rasanya kembali diingatkan bahwa di sini tempatku dan di sini masih banyak orang yang memperhatikanku.

"Kamu nggak usah terlalu dengerin, ya. Mereka emang kayak gitu, nggak berkembang kok ajak-ajak."

Kalimat langsung dari kak Devi tidak perlu kupertegas lagi, Julian dan Tari sejak awal seperti minyak dan air bila dihubungkan dengan kepengurusan Cabang. Aku yang terhitung baru tentu tidak memiliki cukup referensi, beruntungnya aku merasa berada di sisi pihak yang tepat. Kak Calvin dan semuanya selalu mendukung rasa ingin tahu yang semakin besar, mereka juga tidak pernah membandingkan atau menyalahkan ketika juniornya masih keliru. Seolah kak Calvin dan beberapa senior di sana sudah menjadi orang tua lain selama di dunia organisasi, sepanjang aku masih bisa mendapat banyak pembelajaran hidup yang baik sepertinya tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

"Kamu nanti maju aja di Cabang, tinggal pilih mau di kepengurusan inti atau ex-officio."

"Apa nggak terlalu cepet, Kak? Aku masih belum banyak ikut pelatihan, takut nantinya jadi kurang berperan."

"Del, sejauh ini kamu sudah sangat berperan. Prosesmu bagus nggak instan, tinggal kamu ikuti saja alur yang benar. Insya Allah kamu bisa, sih."

Aku ingin menyanggah, tapi senyum kak Devi terlalu kuat untuk kupatahkan dengan beberapa kalimat yang mungkin akan kembali dia bantah. Aku sudah menduga, kak Devi membawaku pergi dari sana bukan untuk membeli atau mencari sesuatu tapi sudah ada hal yang mungkin kak Calvin titipkan pada gadis ini untuk diberikan padaku.

"Sesama perempuan itu cepat nyambung dan klopnya, Calvin juga nggak mau membuat api lebih besar kalau lihat dia sering ngobrol atau ngasih nasehat ke kamu."

Aku menatapnya, wajah itu cantik dan selalu memancarkan aura positif. Wajar saja kak Calvin menjadikannya tujuan, bahkan keluarga mereka sudah sepakat anaknya akan disatukan setelah keduanya selesai tahun depan.

"Kak Devi nggak curiga atau cemburu ke aku, 'kan?" tanyaku ketika suasana kembali hening, kami sibuk dengan pentol bakar di tangan masing-masing.

"Hm?" Sejenak kak Devi mengerutkan kening, lalu tawanya lepas ketika mulai menyadari maksud dari kalimatku. "Astaga, Adelitaaaa ... kamu pasti kepikiran sama sindiran mereka, 'kan?"

Aku mengangguk. "Soalnya sebelum aku berangkat ... "

"Aku emang lagi marah sama Calvin, semua nggak ada hubungannya sama kamu kok. Emang kalo lagi marahan gitu kita keliatan banget, gara-gara Calvin aja bandel." Kak Devi tertawa, mungkin mengingat kembali kejadian yang lalu. "Kamu tenang aja, aku udah anggap kamu kayak adik sendiri, Calvin juga gitu dan lagian yang suka kamu itu bukan Calvin tapi--"

Seperti dihentikan sesuatu, kak Devi hanya menunjukkan cengiran lebar ketika kalimatnya belum sampai. Aku ingin bertanya, tapi tidak enak rasanya jika terlalu penasaran akan sesuatu yang mungkin saja belum benar. Namun, anehnya saat kalimat menggantung kak Devi berakhir tiba-tiba saja ada panggilan masuk.

"Kok nggak diangkat, Del?"

"Ah, ini kayaknya tadi dia cuma miscall."

Aku menatap layar gawai yang masih terang, menampakkan spam chat dari seseorang yang memang sejak datang ke Sekret kuabaikan. Hanya membaca sekilas, aku bahkan tidak berniat membalas karena yakin pembahasan akan panjang. Lagi-lagi aku terkejut, dia mengirim sebuah pesan yang seperti menjadi kebiasaan.

Syahib
| Lita, berkabar segera kalau sudah nda sibuk ki, saya mau VC.

***|***

Hukum dalam Rasa [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang