Prolog

5 1 1
                                    

Prangg!

Suara pecahan piring terdengar nyaring, membuat seorang gadis kecil terbangun dan mengucek matanya yang masih terasa berat.

“Sudah kubilang, gak usah memelihara kandungan itu! Agar aku gak perlu tanggung jawab apapun padamu!” teriak seorang laki-laki dari ruang tamu.

Sebuah isakan perempuan terdengar makin kencang, lalu berbicara patah-patah. “Aku memilih membesarkannya, karena aku tidak ingin kehilanganmu, Mas. Aku mencintaimu,--”

Plakk!

Tamparan keras dihadiahi oleh si laki-laki, matanya memerah marah. “Cinta katamu? Cinta macam apa yang kau lakukan itu? Kau bawa kandungan yang besar itu dan bicara dengan orang tuaku, begitu?”

Gadis kecil yang penasaran, bangkit menuju pintu kamar dan membukanya sedikit-sedikit. Suara keras itu sering terdengar tiap malam, membuatnya terjaga sebentar lalu melanjutkan mimpi indahnya. Namun, untuk kali ini, si gadis terdorong untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

“Aku mohon, Mas, aku benar-benar mencintaimu. Jangan tinggalkan kami, aku memohon padamu, Mas ....,"rintih si perempuan, membujuk suaminya.

“Jangan lakukan ini, Mas. Anak kita nanti gimana, dia pasti bakalan mencari-cari ayahnya kemana,” mohon si perempuan makin sendu.

Lelaki itu masih santai memasukkan baju-bajunya ke dalam koper besar. “Harusnya aku tak pernah mengenalmu, Jalang! Kalau kau tak datang, mungkin aku lah yang dipilih menjadi manajer di perusahaan ayah. Tapi, kau menghancurkan mimpiku dengan membawa kabar anak sialan itu!" bentaknya sambil mendorong istrinya ke lantai.

“Ta-tapi, aku gak mungkin mendatangi rumahmu kalau kamu gak menghamili aku, Mas," jawabnya terbata.

“Sialan! Diam, kau! Bukannya aku udah suruh untuk menggugurkannya? Tapi kau yang gak mau!"

Lelaki itu menjambak rambut istrinya. “Kau yang bodoh, tapi aku juga yang harus terlibat di dalamnya! Sialan!"

Perempuan itu terbentur meja di belakang, setelah suaminya mendorong dengan sekuat tenaga.

“Aww!”

“Ibuuu!” pekik gadis kecil yang dari tadi menangis menyaksikan perdebatan orang tuanya.

Sang ibu terkejut saat melihat anaknya tiba-tiba menghampiri. “Ca, kenapa kamu bangun, Nak?”

Anak berusia tiga tahun itu mengusap air matanya. “Aca tiap malam bangun karena selalu denger yang berantem, Bu.”

Ibunya menunduk, menyembunyikan perih yang selalu ditutupi dari gadis kecilnya ini. “Maafkan ibu, ya, Nak. Tidurnya selalu terganggu karena suara berisik ibu,” ucapnya lantas memeluk si anak.

Lelaki itu menatap sinis pemandangan di depannya, sorot matanya terlihat sangat jijik melihat itu. Dia lalu mengambil koper dan pergi ke luar.

“Itu ayah mau kemana, Bu?” tanya Aca heran.

Sang ibu berpikir keras. “Ayah mau berangkat kerja, Nak," dustanya.

“Tapi ini kan masih malam, Bu."

Sang ibu memejam, menahan butiran air yang hendak menetes lagi. “Nanti pagi ayah pulang. Sekarang, Aca tidur lagi, ya?”

“Gak mauu, Aca mau ikut ayah aja!” Suara motor yang sudah terdengar, membuat Aca berontak ingin mengejar ayahnya.

“Jangan, Nak. Kan ayah mau kerja, nanti kalau Aca ikut, takut ganggu kerjanya ayah,” larang ibunya memberi peringatan.

“Tapi, Aca gak mau kalau ayah kerja. Nanti ibu kesepian," ujarnya polos.

“Mana ada ibu kesepian? Kan ada Aca yang selalu nemenin ibu, iya kan?” hibur ibunya. Aca tersenyum sumringah, lalu merangkul ibunya erat.

***

Nama ibunya adalah Yuli, seorang gadis kelas 11 SMA yang memutuskan nikah muda karena hamil di luar nikah. Sahrul Sanjaya, lelaki yang menghamilinya tak mau tanggung jawab, hingga akhirnya Yuli nekat mendatangi rumah orang tuanya untuk menagih tanggung jawab dari Sahrul.

Orang tuanya tentu marah, tapi pada akhirnya mereka memberi keadilan untuk Yuli dan menikahkan mereka. Namun, itu bukanlah pilihan yang baik. Hidup Yuli bahkan menjadi lebih buruk setelah menikah. Bukan hanya lepas dari tanggung jawab, Sahrul juga malah memperlakukan Yuli dengan kasar.

Hingga, bayi perempuan itu lahir, dan makin dalam lah kebencian Sahrul kepada Yuli dan anaknya. Bahkan, hampir tiap hari mereka berdebat dan bertengkar gara-gara keegoisan Sahrul. Alasan kenapa Yuli masih ngotot bertahan dengan Sahrul adalah demi anak ini. Dia sama sekali tak ingin jika anaknya lahir tanpa status ayah.

“Aca tidur lagi, ya, di kamar?” ucap Yuli setelah pelukan berakhir. Aca mengangguk, Yuli akhirnya menuntun Aca menuju kamar dan membawanya tertidur lagi. Memberi ketenangan dengan melantunkan sebuah lagu pengantar tidur.

***

Pagi tiba. Aca tersadar saat sebuah boneka panda berada di pelukannya, padahal kemarin malam dia berada di pelukan ibunya.

”Ibu?" panggilnya mulai cemas. Kemudian, dari balik pintu muncul seseorang yang tak asing baginya.

“Nenek, ibu kemana?" tanya Aca cemas.

“Ibu lagi pergi," jawab sang Nenek sambil duduk di tepi kasur.

“Kemana?"

“Keluar sebentar. Palingan siang juga udah balik lagi. Ayo ikut Nenek aja."

“Ikut kemana?"

“Ke rumah Nenek. Udah lama, kan, gak ke sana?"

Aca tampak berpikir. “Ayah udah pulang?
Sang Nenek terdiam, matanya seketika berpaling ke arah jendela.

“Kata Ibu, ayah katanya mau pulang pagi. Ini udah pagi, kan, Nek?"

Hati si Nenek makin teriris. Bagaimana menjelaskan kepada bocah ini?

“Ayahmu belum pulang. Sebaiknya, Aca nunggu di rumah Nenek dulu, ya?”

Aca cemberut. Pertengkaran orang tuanya tadi malam belum dia pahami. Perpisahan antara orang dewasa yang egois belum bisa ditafsirkan oleh pikirannya yang masih teramat kecil. Padahal, hari ini adalah hari pertama baginya tanpa sosok orang tua. Hari di mana dia mulai memasuki kekejaman hidup yang berat untuk seorang gadis kecil yang belum mengerti apa-apa. Bahkan, untuk hidup saja, dia tak tahu untuk apa.

Next, part I.

Don't Be Psycho AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang