"Mendengarkan perkataan orang lain, hanya akan membuat kita jauh dari diri sendiri."
- s m i l e d u l u -
_____ 🕊🕊 _____
Tentang Dinda, remaja satu-satunya dari Desa Nirmala yang mendapatkan beasiswa ke Jakarta mendapatkan apresiasi dari kepala desa, rt, rw, dan warga setempat. Mereka sangat bangga karena Dinda mengharumkan nama Desa mereka.
Namun, tidak sedikit yang membenci Dinda. Mereka tidak suka Dinda mendapatkan beasiswa dan mendapatkan apresiasi dari kades.
Salah satunya Bu Mina, wanita berusia empat puluh tahun sekaligus Bu RT ini. Sangat 'tak suka melihat keluarga Dinda bahagia. Ia mempunyai seribu satu bahasa supaya Dinda dan ayahnya sakit hati.
Terkadang Dinda selalu menangis setelah mendengar perkataan mematikan dari Bu Mina, ia juga ingin sekali membalasnya. Tapi ayahnya selalu berkata, watak Bu Mina memang seperti itu, tapi sebenarnya dia baik.
Jadi, Dinda hanya bisa membiarkan Bu Mina mencaci-maki, tugasnya hanya menutup telinga rapat-rapat. Karena ia juga sadar, manusia memang berbeda-beda begitupun dengan wataknya.
Hari ini Dinda baru saja pulang dari balai desa, untuk meminta tanda tangan Pak kades sekaligus melengkapi berkas-berkasnya. Dinda tidak sendiri, ia di temani Iren.
Keduanya menumpangi sepeda milik Dinda, dengan Iren yang menjadi sopirnya. Perlu di catat, Dinda sama sekali tidak bisa menggunakan sepeda. Ia lebih senang di bonceng, beberapa kali ayahnya juga menyuruh Dinda belajar mengayuh sepeda sebelum ia mempunyai sepeda. Tapi Dinda tetap menolak. Ia takut sepeda ayahnya rusak. Karena di sepeda itu, banyak kenangan ayahnya bersama ibunya.
"Din, abis ini kita langsung pulang apa main dulu?" tanya Iren.
Dinda yang berada di belakang Iren mulai berpikir, jika pulang pasti ia akan mendapatkan ocehan 'tak jelas dari Bu Mina. Mengingat sore-sore seperti ini, biasanya Bu Mina berdiam di teras rumah sambil bermain ponsel.
Lebih baik Dinda main dahulu. Untuk mengumpulkan mentalnya bilamana Bu Mina melontarkan kata-kata tidak sedap.
"Main dulu aja, deh."
Iren spontan mengangguk. "Serunya main ke mana, ya?" tanya Iren.
"Kalau jajan bosen, Len."
"Hidih, sok-sokan bosen jajan, biasanya paling sering jajan," timpal Iren, " tapi iya sih, gue juga lagi miskin ini."
Dinda memukul pelan lengan kiri Iren. "Mana ada anaknya kades miskin."
Iren yang mendengar penuturan Dinda menghentikan sepedanya, membuat Dinda bingung. "Lho, lho, kenapa belhenti?" tanya Dinda.
"Sekali lagi lo bilang gue anak kades, kita putus!" ujar Iren sedikit kesal.
Dinda memutar bola matanya. "Kok gitu, halusnya kamu bangga, punya Bapak kayak Pak Tama."
"Kata siapa gue gak bangga? Gue bangga punya ayah kayak ayah gue, cuman gak usahlah libatin profesi gitu," ucap Iren, "lo gak lupa kan, apa kata gue?"
Dinda terkekeh mendengar ucapan Iren. Ia baru ingat. Sahabatnya ini paling tidak suka di panggil anak kades. Katanya, Iren hanya ingin di kenal sebagai anak biasa, ia tidak mau di pandang tinggi oleh teman-temannya karena merupakan anak dari seorang kepada desa.
Keluarga Iren juga pindahan dari Jakarta, Ayah dan ibunya sepakat untuk pindah ke Desa Nirmala dan menetap di sini. Dari umur Iren yang masih tiga tahun, mereka sudah pindah. Sampai pada akhirnya, ayahnya yang semulanya menjadi seorang guru kini di angkat oleh warga Nirmala menjadi seorang kades. Karena kebaikan dan kepeduliannya yang patut di acungi jempol.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hai, Dinda!
De TodoBersekolah ke Jakarta adalah impian seorang Dinda. Meski finansial keluarganya di desa hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari, tapi Dinda bisa membuktikan. Kesuksesan seseorang tidak di lihat dari latar belakangnya. Permasalahannya pun selalu berda...