"Kenangan itu gak bisa di bayar pake uang."
- s m i l e d u l u -
_____ 🕊🕊 _____
Setelah perjalanan yang memakan banyak waktu, sekarang mereka sudah berada di rumah bertingkat, mewah dan besar. Ini adalah rumah Pak Harun, Kepala Sekolah Dinda. Ia memang mempunyai rumah di Jakarta.
Rumah ini sudah lama tidak di huni, semenjak Pak Harun berpindah tugas mengajar di Desa. Tapi bukan berarti terbengkalai begitu saja. Biasanya anak-anak Pak Harun yang berada di Jakarta sesekali menyempatkan waktu untuk menginap ataupun hanya sekadar membersihkan rumah saja.
Jadi, saat Dinda dan kedua temannya ke sini, keadaan rumah Pak Harun tidak terlalu kotor. Hanya saja, di halaman rumah Pak Harun banyak dedaunan dan batu-batu kecil berserakan.
Kata Pak Harun, memang sudah beberapa bulan rumah ini tidak di bersihkan. Karena anak-anaknya belum punya waktu untuk berkunjung ke sini.
Rumah Pak Harun banyak yang ingin membeli dan menyewa. Tapi Pak Harun terlalu menyayangi rumahnya, karena semua kenangan bersama anak istrinya terekam jelas di rumah ini. Bagaimana bisa Pak Harun dengan mudah melepaskan rumah yang begitu banyak kenangan di dalamnya.
Sore ini Dinda dan kedua temannya akan membersihkan rumah. Bukan Pak Harun yang menyuruh mereka, tapi ini murni kemauan Dinda dan kedua temannya, karena alasan bosan dan tidak enak saja. Sudah menumpang tidak tahu diri pula.
Sebelumnya mereka juga sudah beristirahat cukup lama, dan perut mereka pun sudah terisi. Sedangkan Pak Harun tidak ada di rumah. Katanya, ia ada urusan sebentar dengan temannya yang berada di Jakarta sambil membeli makan untuk malam ini.
"Gue yakin nih, batu-batu berbagai ukuran ini bekas lemparin buah mangga deh," ujar Adam saat netranya melihat dua pohon mangga besar yang berada di samping rumah Pak Harun.
Mereka tengah berada di teras rumah, lengkap dengan peralatan bersih-bersih.
Nafisatunaja teman Adam dan Dinda yang kerap di panggil Nissa, seketika tertawa.
"Ngelawak lo! Mana ada, liat tuh, buahnya juga belum muncul," timpal Nissa sambil tertawa, tangannya dengan lancang memukul tangan Dinda yang tak bersalah.
"Apaan kok mukul aku sih!" pekik Dinda sedikit kesal.
Nissa yang sadar lantas menghentikan tawanya. "Monmaaf, kebiasaan gue."
Adam hanya memutar bola mata malas. "Gayanya aja berhijab, namanya islami banget, tapi kelakuannya. Astaghfirullah, lo bar-bar," kata Adam, membuat Nissa kesal.
"Astaghfirullah, apa lo bilang tadi? Lo barusan ngebandingin hijab gue gitu?" tanya Nissa, "asal lo tau, ya. Hijab itu kewajiban, jangan sangkut pautin sama kelakuan, paham lo!"
"Betul! Aku setuju," timpal Dinda memihak Nissa.
"Gue memang udah gini dari sananya. Gue bisa aja berubah, tapi gue takut, gue takut gak bisa Istiqomah. Makannya gue lebih nyaman kayak gini dulu untuk sekarang."
Adam hanya mengangguk-angguk saja. "Iya deh, cewek selalu benar," ujar Adam, "udah ayo cepetan kerjain, biar cepat beres."
Adam memberikan sapu rumah kepada Nissa, dan sapu lidi kepada Dinda.
"Lo sapuin halaman rumah, dan gue mungutin batu-batu ini sekalian bantu lo mungutin daun juga," jelas Adam memberitahu kepada Dinda.
"Dan lo, Nis. Di dalam aja nyampu sedikit kok, kalau udah beres bisa bantu gue sama Dinda."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hai, Dinda!
De TodoBersekolah ke Jakarta adalah impian seorang Dinda. Meski finansial keluarganya di desa hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari, tapi Dinda bisa membuktikan. Kesuksesan seseorang tidak di lihat dari latar belakangnya. Permasalahannya pun selalu berda...