"Bahagia sama kesedihan itu berdampingan, mungkin saja detik ini kamu bahagia, bisa jadi detik selanjutnya kesedihan yang menyapa. Tapi aku harap, itu tidak terjadi."
- s m i l e d u l u -
_____ 🕊🕊 _____Kaki kecilnya sudah sampai di pekarangan rumahnya. Cuaca hari ini sangat cerah, sampai-sampai sudah pukul dua siang terik matahari masih seperti tengah hari. Sangat panas!
Keluhan kecil keluar begitu saja dari bibir mungil itu. Keringat bercucuran di pelipisnya membuat ia menggibas-gibaskan selembar buku yang ia dapat dari Iren.
Namun saat tiba di depan rumah, matanya berbinar melihat sepeda ontel yang sudah terparkir rapi. Itu tandanya, ayahnya pulang lebih awal.
Seulas senyuman terukir di wajah cantiknya. Lelah yang ia keluhan seketika hilang, di gantikan dengan kegembiraan, sama seperti pertama ia mendapatkan beasiswa ini.
Berita ini harus segera Dinda sampaikan kepada ayahnya!
Dinda berlari kecil ke dalam rumah, sampai lupa untuk melepas sepatunya.
"Bapak!" teriaknya. Namun tak ada tanda-tanda ayahnya.
Biasanya pahlawannya itu duduk santai sambil menonton tv.
"Bapak kemana sih? Di dapul kali, ya?" monolognya.
Sebelum ke dapur Dinda baru menyadari, ada sebuah sepeda berwarna pink yang berada di dekat pintu.
Matanya melirik sekilas sekaligus bingung.
"Ini sepeda siapa?"
"Bagus banget sepedanya," ucap Dinda melihat-lihat sepeda itu.
"Sepraiii!" ujar Hasyim seraya memegangi boneka Tedy bear yang tengah mengenakan toga. Sangat lucu.
"Bapak!" Dinda langsung memeluk sang ayah dengan deraian air mata.
Melihat wajah ayahnya yang lelah, membuatnya menangis sejadi-jadinya di pelukan Hasyim. Ia merasa sangat cukup dengan pencapaiannya sekarang.
Semua lelah yang ayahnya rasakan, tidak akan pernah bisa di bayar dengan apapun. Namun setidaknya, kabar ini yang ayahnya tunggu-tunggu.
"Makasih ya, Nak. Udah buat Bapak bahagia setiap hari. Bapak bersyukur mempunyai kamu dalam hidup Bapak. Bapak menyayangi kamu, Nak." Kata-kata itu membuat relung hati Dinda semakin menangis.
Dinda tidak bisa berkata-kata, dadanya terlalu sesak, rasanya keluh untuk mengucapkan satu katapun.
Ayahnya melepas pelukan, ia memberikan boneka itu kepada Dinda.
"Ini hadiah buat Dinda, karena Dinda selalu ceria setiap hari dan bikin Bapak semangat."
"Dan sepeda ini, Bapak kasih juga buat Dinda. Karena Dinda udah semangat belajar, dan selalu membuat Bapak bangga."
"Jangan nangis lagi," ucap Hasyim sambil mengusap air mata Dinda.
Dinda hanya bisa tersenyum.
"Bagus kan? Nanti kan, kalau pulang sekolah gak akan cape lagi."
Mendengar perkataan terakhir ayahnya, Dinda menampakan wajahnya datarnya. "Bapak gimana sih, 'kan Dinda udah gak sekolah. Telus ini buat apa sepedanya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hai, Dinda!
AcakBersekolah ke Jakarta adalah impian seorang Dinda. Meski finansial keluarganya di desa hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari, tapi Dinda bisa membuktikan. Kesuksesan seseorang tidak di lihat dari latar belakangnya. Permasalahannya pun selalu berda...