(Catatan 3) Perpisahan

33 2 0
                                    

Afnan Amir Ibrahim adalah anak pertama dari Buk Atik dan Pak Saiful. Sejak kecil Afnan memiliki tubuh yang kurus. Kini di umurnya yang ke 19 tahun, tingginya telah mencapai sekitar 175 cm, mewarisi tinggi bapak. Kulit putihnya menunjukkan bahwa ia benar-benar anak kandung Buk Atik. Walaupun ia tidak memiliki lesung di kedua pipi seperti adiknya, namun ketika tersenyum Afnan akan terlihat sangat manis karena gigi-gigi putihnya rapi berbaris.

Sangat berbeda dengan Jihan bukan? Walaupun Jihan memiliki tubuh relatif tinggi untuk ukuran anak perempuan, namun kulit tubuhnya berwarna cokelat gelap. Kalau dilihat-lihat, Jihan lebih mirip Pak Saiful. Apabila Afnan dan adiknya berdiri sebalahan kemudian menyunggingkan senyum bersamaan, mereka bagai pinang manis dibelah dua. Yang satu semanis susu putih sedangkan satunya lagi semanis susu coklat.

Ada satu hal yang menjadi ciri khas Afnan, yaitu memiliki tahi lalat di bagian ujung hidung dan tengah-tengah kedua alis. Dua tahi lalat itu sama sekali tidak mengurangi bagus tampangnya, malah menambah tampan rupanya. Satu hal lagi yang menjadi ciri khasnya, ia memiliki rambut ikal hampir menyentuh bahu. Karena sejak masa pengabdian di pondok pesantren setahun lalu, ia tak pernah memotong rambutnya.

Afnan tumbuh dalam didikan keras dan disiplin bapaknya, sekaligus berkembang dalam balutan kasih dan kelembutan ibu. Sejak kecil ia sudah kenyang dengan kemarahan bapak. Tentu saja kemarahan itu bukan tanpa alasan. Karena Afnan kecil adalah Afnan yang nakal, ia bandel.

Ia masih ingat ketika dulu duduk di kelas lima sekolah dasar. Suatu hari di Senin siang, ia memperoleh kemarahan bapak karena seragam putihnya kotor terkena cipratan air genangan saat hujan baru saja reda. Namun hal itu bukan menjadi alasan utama bapak memarahinya, sebab baju kotor oleh noda itu karena ternyata ia baru saja berkelahi dengan teman di lapangan sekolah. Sampai-sampai, guru olahraga harus turun tangan untuk melerai mereka.

Masih tergambar jelas ketika SMP dulu, Afnan seringkali kabur dari sekolah saat jam pelajaran berlangsung. Ia nekat menerobos gerbang dengan naik ke atasnya, melompat dan melarikan diri ke sungai tempat ia biasa menghabiskan waktu bermain. Karena sungai yang berada di dekat sekolah memiliki pemandangan asri dengan medan jalan yang aman. Selain itu, jernih airnya juga mengundang banyak orang untuk berenang ataupun sekadar bersantai. Afnan akan pulang ketika jam belajar di sekolah telah usai. Dengan begitu orang tuanya tidak curiga. Namun tetap saja, keesokan harinya ia tak dapat menghindar dari hukuman di sekolah.

Tak sampai di situ, dulu ketika ia hampir lulus dari sekolah dasar, tepatnya ketika duduk di kelas enam, ia pernah dipukul dengan tulang daun pisang oleh bapak gara-gara bolos sekolah dan memilih untuk bermain bola di lapangan kampung bersama teman-temannya yang putus sekolah.

Siang itu sekitar pukul satu, dengan langkah cepat seakan ingin berlari, Pak Saiful datang menjemput Afnan di lapangan yang terletak tak jauh dari sawah tempat beliau bekerja. Pak Saiful masih mengenakan caping, celana pendek, dan kaos yang tampak kotor terkena noda tanah basah. Di tangan kanan, beliau menggenggam tulang daun pisang dengan erat, seakan sudah siap untuk memukulkannya.

"Pulang...!!!" Dari jarak yang tidak terlalu jauh, Pak Saiful berteriak pada anaknya yang nampak berkeringat setelah main bola.

Melihat bapaknya bersungut-sungut, pandangan mata lelah Afnan berubah menjadi bulat sempurna penuh ketakutan. Tentu saja ia tak berani mendekati Pak Saiful yang tengah berjalan cepat ke arahnya. Afnan mencoba menghindar dan segera berlari sekencang mungkin menuju rumah, tak mempedulikan sepatu dan ransel yang tertinggal.

Sesampai di rumah, ia masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Lalu berwudhu dan hendak melaksanakan sholat duhur. Karena jika ia tidak segera melakukannya, kemarahan bapak akan menjadi berlipat-lipat. Namun belum sampai di ruang sholat, tiba-tiba bapak datang dari pintu depan, menarik lengan Afnan dengan paksa.

Catatan untuk EdelweisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang