Jihan adalah anak gadis berusia tujuh belas tahun yang berasal dari keluarga sederhana di sudut Kota Malang, tepatnya berada di daerah kabupaten bagian selatan. Satu yang khas darinya adalah ia memiliki senyuman indah. Tiap kali tersenyum, bibirnya akan membentuk bulan sabit sempurna, dan akan kelihatan gigi-gigi miji timunnya. Ditambah dengan kulit yang berwarna sawo matang, betapa ia menjelma menjadi gadis remaja yang manis. Selain itu, ia juga dikenal sebagai gadis yang ekspresif, sangat cerewet, dan mudah bergaul dengan lingkungan sekitar. Jiwa ekstrovertnya sudah terlihat sejak kecil.
Hari ini ia menghabiskan sore dengan bersantai di depan televisi, menyaksikan talk show kesukaan. Disandarkan tubuhnya dalam-dalam pada dinding ruang keluarga yang di beberapa bagian mulai terkelupas cat putihnya. Ia duduk beralaskan tikar usang yang nampak banyak tambalan. Ia kelelahan karena pagi hingga siang membantu ibunya membuat jajanan pasar. Antara lain kue cucur, bikang, dan pastel. Semua adalah pesanan tetangga yang hendak mengadakan acara selamatan.
Di ruang keluarga yang tidak luas itu, sambil ia mendengarkan suara televisi yang menyala, Jihan mendengar suara mesin jahit ibunya. Suara itu hampir mengalahkan suara televisi yang ada di hadapan mata.
Mesin jahit berada di ruang tamu, tepat menempel di balik dinding yang membatasinya dengan ruang keluarga.
Ibuk kok ndak capek ya?
Jihan membatin, dua mata belonya masih berfokus pada tayangan televisi. Sedangkan dua telinga mendengarkan mesin jahit dan televisi yang saling beradu suara.
Tiba-tiba ramai mesin jahit berhenti, "Sudah sholat, Han?" Ibunya berteriak sekadarnya. Tidak terlalu keras, namun terdengar jelas bagi Jihan.
Jihan menatap jam usang yang menggantung pada dinding. Jam itu berbentuk rumah bergaya vintage. Kaca beningnya tampak keruh karena pengaruh usia. Jarum pendeknya menunjuk angka empat, sedangkan jarum panjangnya menunjuk angka tiga. Dengan sigap ia bangkit dari duduk silanya, mematikan televisi menggunakan ujung jari telunjuk kanan, lalu berjalan menemui ibu.
"Belum Buk. Aku sholat dulu ya." Jihan tergesa, ia separuh berlari menuju kamar mandi.
"Ndang sholat, Han! Setelah ini Bapak pulang."
Seolah sudah faham, sebelum ibu menyelesaikan kalimat, Jihan telah berjalan ke belakang. Ia mengambil wudhu dan segera melaksanakan sholat empat rakaat di ruang khusus yang berada di samping kamarnya. Ruangan seluas 9 meter persegi itu berisikan rak buku empat susun yang diletakkan di pojok ruang. Yakni untuk menyimpan buku, kitab, dan Al-Qur'an. Di sampingnya terdapat meja kayu setinggi tiga puluh sentimeter. Biasa dipakai untuk meletakkan sajadah, mukena, sarung, dan tasbih. Lantainya berupa ubin abu-abu beralas tikar plastik vinyl motif kayu. Lalu di atasnya masih dilapisi lagi dengan karpet beludru kasar berwarna biru. Temboknya hanya diaci setinggi satu setengah meter dari permukaan lantai. Sedangkan bagian yang lain dibiarkan terbuka, kelihatan tekstur bata merah dan perekatnya.
Jihan menghidupkan lampu, ia mulai mempersiapkan alat sholat. Menggelar sajadah cokelat bergambar Masjid Nabawi. Sajadah itu masih terlihat baru, tekstur permukaannya masih lembut. Benang-benang rawis di bagian sisi yang menghadap kiblat dan timur juga terlihat masih lurus, belum ada yang saling melilit atau gundul. Didapat oleh ibunya ketika beliau berziarah umrah kepada tetangga yang berada dalam satu rukun warga. Dan sekarang, sajadah itu menjadi milik Jihan. Ibunya mengalah.
Selesai sajadah digelar, ia meraih mukena di atas meja tiga puluh senti. Mukenanya putih, keruh, usang, dan berusia tua. Namun tetap harum, bersih, dan tiada satu pun titik-titik jamur. Jihan rutin mencucinya. Jika ia mencuci mukena yang putih, maka ia akan mengenakan mukena motif batik mega mendung warna cokelat. Semua mukena bermodel terusan karena ibu selalu membelikan yang demikian. Biar aman, tidak khawatir akan bagian-bagian tubuh yang seharusnya tertutup ataupun harus menempel pada tempat sujud, tutur sang ibu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Catatan untuk Edelweis
Ficción GeneralBunga Edelweis bilang, "Setiap orang sedang berusaha menyembuhkan luka dan kesusahannya masing-masing. Maka jangan selalu bersedih hati, karena Dia telah memberi sesuai kadar dan takar masing-masing. Masih ada yang bisa disyukuri, yaitu kemampuan di...