(Catatan 4) Kado Terindah

36 2 0
                                    

Di Al-Muthalibin, ia baru menyadari betapa selama ini Afnan seringkali menyusahkan kedua orang tua. Ia sadar bahwa kenakalan-kenakalan dulu benar-benar menyakiti hati keduanya. Afnan seringkali termenung dan memikirkan, kenapa bisa? Kenapa dahulu ia senakal itu?

Namun, penyesalan yang memenuhi fikiran selamanya hanya akan menjadi penyesalan yang lama-lama akan merusak diri jika ia tak mau bangkit dan berbenah. Kesalahan yang dulu bukan untuk disesali selamanya. Hal paling tepat yang harus ia lakukan adalah segera berbenah, mengingat setiap kesalahan agar ia lebih hati-hati sehingga tidak mengulangi lagi.

Di pesantren tempat ia menimba ilmu, Afnan seakan menemukan sesuatu yang selama ini ia butuhkan. Mungkin pada mulanya ia memang tidak menginginkan berada di tempat itu, namun nyatanya ia membutuhkannya. Ternyata benar, bapak dan ibuk tak salah langkah memondokkannya.

Tak henti-henti Afnan bersyukur, ia merasa berhutang kepada kedua orang tua di rumah. Di Al-Mutholibin ia tak hanya belajar sebatas materi, melainkan bagaimana cara belajar secara keseluruhan. Yaitu dengan mengamalkan apa yang ia pelajari ke dalam kehidupan sehari-hari. Dan itu ia pahami bukan hanya dari buku ataupun kitab, melainkan dari apa yang ia lihat dari guru, para pendidik, asatidz, pengasuh, dan pemimpin pondok pesantren yang secara langsung mencontohkan melalui akhlak dan perilaku mereka.

Ia tak menyangka, harta karun yang tak sengaja ia temukan mengantarkannya pada pintu berkah dan kebaikan. Kalau bukan karena doa ibuk bapak, mana mungkin hatinya lunak sehingga bersedia tinggal di tempat pengasingan seperti itu.

Orang-orang bilang, pondok pesantren adalah penjara suci. Ia mengekang para santri, menjauhkannya dari dunia luar, mengikat mereka pada tuntutan-tuntutan yang tak berkesudahan. Sedangkan yang Afnan rasa adalah kebebasan. Ia bebas bermesraan dengan ilmu, ia bebas memetik ilmu berapa pun jumlahnya tanpa takut mubazir. Ia dapat mengenal teman seperjuangan dalam pandangan yang lebih dekat karena hampir dua puluh empat jam ia bersosialisasi dengan mereka. Afnan jadi mengerti karakter dan cara berfikir mereka, ia jadi memahami bagaimana cara berbaur dan berukhuwah. Afnan bebas menadahi tetes-tetes akhlakul karimah dari guru-guru yang baik, asatidz yang terjaga, dan kyai yang berkharisma. Ikhtiar, amalan, tirakat, akhlak, dan segala atmosfir mulia yang melingkupi kehidupan pondok pesantren, memberikan udara sejuk bagi jiwanya, bagi kalbu, bagi batin. Afnan bebas menghirup itu semua, tanpa ia khawatir atas polusi, keruh, hitam, dan kotornya udara. Hatinya melapang, syukurnya membesar. Tak henti-henti Afnan berterima kasih pada dua lentera penerang yang begitu memikirkan kehidupannya. Pak Saiful dan Buk Atik tak sekali pun salah langkah dalam mengantar anak sulungnya ke Al-Muthalibin.

Ketika kini ia telah menyelesaikan masa nyantrinya, barulah ia memahami, "Ternyata, sebenar-benarnya penjara adalah diriku dahulu yang tak mengerti akan ilmu agama. Aku terekang dalam jiwa kerdil, hati sempit, pemikiran pendek, prasangka negatif, dan batas-batas yang kubuat sendiri demi menyenangkan pandangan manusia."

***

Pendidikan Madrasah Aliyah dan Madrasah Diniyahnya di Al-Muthalibin telah ia rampungkan. Setelah melewati masa wisuda, pamitan, berkemas, dan perpisahan dengan teman-teman sekamar, hari ini akhirnya ia pulang. Afnan berkumpul kembali dengan Pak Saiful, Buk Atik, dan Jihan.

Tujuh tahun lamanya, sejak MTs hingga MA ditambah satu tahun masa pengabdian ia menghabiskan waktu di Al-Muthalibin. Ia menahan rindu kepada orang-orang di rumah. Hanya ketika liburan dan keperluan penting saja ia diizinkan untuk bersua dengan mereka, selebihnya hidupnya penuh di dalam pesantren.

Hari kepulangannya adalah hari bahagia sekaligus menyesakkan dada. Ia bahagia karena kembali berkumpul dengan keluarga. Sesak dada sekaligus ia rasa karena berpisah dengan teman sekamar, seasrama, seangkatan, dan berpisah dengan para guru yang selama ini telah membimbingnya. Namun, dinding-dinding pondok telah merawatnya. Kalau selama ini ia mampu melewati masa perpisahan dengan dua orang tua, maka ia pun akan diberi mampu ketika berpisah dengan mereka yang ia temui di Al-Muthalibin.

Catatan untuk EdelweisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang