Prolog

4 0 0
                                    


Seorang gadis dengan baju hijau mint tengah berdiri tak jauh dari salah satu rak buku bertuliskan novel best seller. Ia tersenyum bangga menatap bukunya bertengger di sana dengan indah bersama buku-buku lainnya. Rambutnya yang bergelombang ia biarkan tergerai jatuh di punggungnya. Senyumnya melebar, namun tetap tidak bisa menyipitkan matanya yang memang bulat dan lebar.

"Permisi, kak Cantika Queena ya?" Merasa terpanggil gadis itu lalu menoleh,

"Iya?" Sahutnya.

"Astaga! Nggak nyangka bisa ketemu kakak di sini! boleh minta tanda tangannya kak? Aku ngefans berat sama kakak, aduh nggak nyangka banget ketemu di sini," Gadis bertubuh pendek bernama cantika itu lantas tersenyum mendengar gadis yang terus berbicara dengannya dengan semangat, ia bangga dengan pencapaiannya.

"Boleh," ia mengambil buku dan pulpen yang disodorkan oleh gadis itu lalu mencoretkan tanda tangannya di kertas pertama dalam buku itu, ia merasa tersanjung walaupun sebenarnya ia juga merasa bahwa ia bukan siapa-siapa. Sampai detik ini, rasanya ini masih seperti mimpi ia merasa ia hanya cantika, perempuan yang berusaha mengejar mimpi-mimpinya lalu menggiring mereka untuk terbit di dunia nyata.

"Makasih ya kak, boleh minta foto sekalian?"

"Tentu saja," cantika terkekeh. Ia tersenyum menatap kamera. Setelah puas berfoto gadis itu berpamitan.

"Terimakasih ya, Kak,semoga kapan-kapan bisa ketemu lagi, aku duluan, kak!" gadis itu melambaikan tangan. Melihat punggung gadis itu menghilang di pintu keluar Cantika berbisik pada dirinya sendiri ia teringat akan sesuatu.

"Kalau nanti terbit, aku pasti jadi orang pertama yang datang dan meminta tanda tanganmu," Ia tersenyum sendu.

"Aku yakin kamu bisa, hal yang besar akan selalu dimulai dengan hal yang kecil, jadi jangan putus asa ya!" lalu kembali mengesah, menyakitkan sekali merasakan kalimat-lakimat itu terus melintas di kepalanya.

Cantika menatap kembali rak buku di mana bukunya ada disana, ada seberkas kekecewaan di matanya ia menatap sendu bukunya, "bukunya udah terbit kak, aku berhasil, tapi kakak di mana?" bisiknya pada keramaian.

Karena pada kenyataannya orang itu tidak datang bahkan untuk sekedar mengucapkan selamat. Semua harapannya pupus seketika, karena bahkan sampai cetakan ke-3, 6 bulan setelah buku itu terbit sosok yang ia inginkan masih belum menampakkan diri. Ia sadar, mungkin ia memang tidak sepenting itu, harusnya ia tahu kalau ia bukan siapa-siapa dan dengan begitu ia harus menegaskan pada dirinya sendiri bahwa ia harus baik-baik saja, ya harus!

Lagipula tanpa kehadirannya pun, ada banyak oranglain yang mengucapkan doa-doa baik dan pujian untuknya kan? Lantas kenapa ia harus merasa ada yang kurang?

Teleponnya berdering.

"Halo? Masih lama nggak? Buruan! Beli buku lama banget kayak mau beli pesawat aja!" Cantika terkekeh mendengar keluhan yang selalu tidak sabaran dari gadis tomboi berambut pendek sebahu yang memang sudah menjadi teman dekatnya sejak masuk SMA.

"Iya, Sella, ini gue mau pulang."

"Buruan, Aku sendirian nih, dasar kalian itu tukang molor! Emang aku doang yang rajin," gerutu sella. Cantika tersenyum lebar. Ia sudah bisa membayangkan kalau bibir sella pasti sudah maju 10 cm, Cantika terkekeh kecil, lucu sekali membayangkannya.

"Iya ini udah jalan, sabar dong!"

"Oke, aku di meja nomor 16,"

"Jalan ke kasir maksudnya."

Sedetik setelah sella mengumpat kesal dan langsung memutuskan sambungan telepon. Cantika berjalan keluar setelah membawa buku yang ia ambil dengan asal, karena tujuannya datang ke sini hanya untuk menengok kenangan itu, bayangan itu dan hal-hal manis yang tertinggal di sana.

Serpihan RembulanWhere stories live. Discover now