4. Hesitate

128 21 6
                                    

Sore ini rumah Lesmana dan Mustika terasa sepi, berbeda dengan biasa di mana ada suara tawa dan juga komentar yang keras dikeluarkan oleh Nesya ketika duduk di depan sofa sembari menonton serial favorit gadis tersebut. Suara gemericik air kolam yang ada di teras samping rumah mereka kini menjadi satu-satunya suara yang mengisi hari-hari Lesmana dan Mustika. Lesmana yang kini duduk pada bangku panjang berbahan kayu jati yang ada tepat di depan kolam menghela nafas pelan.

Lelaki berusia 56 tahun tersebut masih merasa berat dengan keputusannya menikahkan putri semata wayangnya dengan cara seperti itu tempo hari. Ia masih tidak tahu apakah keputusannya benar atau justru ia menjadi ayah yang tidak benar.

"Pa...,"

Lesmana menoleh ke samping kiri. Melihat sliding door yang perlahan bergeser dan secara bersamaan ia dapat mencium aroma teh melati serta pisang goreng yang sama-sama masih mengepulkan asap. Hidangan yang sepertinya pas menemani mereka ketika rintik hujan perlahan jatuh membasahi beberapa tanaman anggrek dan juga kolam di teras mereka.

"Kapan gorengnya? Perasaan tadi Mama sibuk ngirim mesin jahit Nesya ke rumah baru dia sama suaminya."

"Ya udah pulang, Pa. Orang sepi. Nesya kan nyusul Anin." Mustika meletakkan piring dan juga dua cangkir teh di meja kecil yang ada depan kursi panjang di mana Lesmana duduk. Ia lalu mengambil duduk di samping sang suami.

"Kenapa? Papa kayanya jadi murung dan pendiem setelah Nesya nikah."

"Ma, keputusan kita bener gak sih ngizinin Nesya nikah dengan cara seperti itu? Papa kok gak ikhlas rasanya ya, Ma?"

Mustika mengulas senyum, itu hal yang wajar untuk dirasakan oleh suaminya. Bahkan pada beberapa kesempatan, Mustika juga masih mempertanyakan keputusannya. Namun ia kembali teringat bagaimana Nesya pada hari itu. Di mana ia merasa bahwa menuruti kehendak Nesya adalah jalan terbaik bagi mereka sebagai orang tua.

"Keluarga aja sampe kaget karena kita sama sekali gak ngabarin. Masa kita harus bikin pesta dua kali?"

"Pa...,"

Mustika kini tertawa, tangannya mengelus lengan suaminya sebelum meraih salah satu cangkir teh di hadapan mereka dan memberikannya kepada Lesmana. "Minum dulu," pintanya dengan harap bahwa sang suami akan bisa lebih tenang ketika membicarakan kehidupan tentang anak semata wayang mereka.

Lesmana menurut. Ia mengambil cangkir dan menyesap teh hangat dengan aroma melati yang begitu menenangkan baginya. Teh racikan istrinya memang tidak ada lawan.

"Selama dua puluh delapan tahun kita ngebesarin Nesya, pernah gak Papa lihat Nesya ngambil keputusan secepat itu kemarin tanpa melibatkan kita? Itu adalah kali pertama Mama lihat Nesya bener-bener passionate dalam hidupnya. Meskipun cara dia lumayan extreme. Tapi daripada kaget karena omongan Nesya, Mama lebih kaget gimana dia bisa berani berpikir sampai kesana."

Lesmana terdiam.

"Dua puluh delapan tahun dia hidup, dia selalu melibatkan kita bahkan di keputusan paling sederhana dalam hidupnya. Dia gak pernah minta sesuatu hal yang menyangkut masa depannya ke kita. Dia menyerahkan semua keputusan yang menyangkut hidup dia itu ke kita. Mulai dari dimana dia harus sekolah, di mana dia kuliah, perusahaan mana yang dia coba masuki, karir seperti apa yang dia harus jalani. Semua itu secara gak sadar adalah keinginan dan pilihan kita. Dia gak pernah memilih, bahkan disaat dia terlihat happy sama kerjaan dia yang super sibuk, lalu kita minta dia resign dan jadi PNS biar kita dan dia sama-sama punya waktu buat dirinya sendiri, dia gak ada penolakan sedikitpun."

"Papa sadar gak kalo Nesya itu luar biasa santai dan sederhana ngejalanin hidup dia. Papa bandingin sama Amelia, Nesya malah kelihatan kayak gak punya ambisi sama sekali. Bahkan ketika Genta ngelamar dia dan bilang bersedia pindah kepercayaan, Nesya nolak dengan tegas. Itu laki-laki yang dia pacarin enam tahun, Pa. Dia gak mau ambil risiko dengan ngorbanin keluarga dan juga kepercayaan Genta demi kebahagiaan dia sendiri."

"Tapi gimana kalo dia gak bahagia, Ma? Ini konteksnya sudah beda."

"Beda di mana? Memang karir dan ilmu yang dia pelajari sudah pasti bikin dia bahagia? Apa kita pernah mikir dulu, apa dia nyaman sama suasana sekolah, kampus dan lingkungan kerja dia? Apa dia suka sama kerjaan dan ilmu yang dia pelajari? Apa dia nyaman dengan teman-teman dia, dia ada masalah apa enggak."

"Kalo Papa takut Nesya disakitin karena pernikahan mereka bukan berdasar cinta, sekarang pernikahan mana sih yang gak ada nangisnya? Gak ada ribut dan susahnya? Bahkan pasangan yang dulu nangis bahagia waktu akad aja bisa ribut sampai nangis darah."

Lesmana masih terdiam, apa yang dikatakan oleh sang istri memang benar adanya, namun di satu sisi ia merasa masih khawatir dengan Nesya saat ini. Ia masih merasa bersalah karena mendukung keputusan putrinya untuk menikah dengan Anindito demi membantu keluarga Abimana yang jelas akan menahan malu seumur hidup bila pernikahan si sulung benar-benar gagal.

Sedangkan Mustika yang masih bisa melihat raut cemas dari wajah sang suami mencoba untuk kembali menenangkan Lesmana. "Pa, apapun yang terjadi dengan Nesya kedepannya, itu adalah pilihan hidup dia yang sudah dia putuskan sendiri. Tugas kita sebagai orang tua itu selalu ada di belakang Nesya, ngedukung dan juga nguatin dia di saat-saat terberatnya."

Lesmana mengangguk. "Papa juga bilang sama Anin setelah akad kemarin, kalo memang ada apa-apa, Papa minta dia balikin Nesya ke Papa secara baik-baik. Papa juga yakin kalo Anin bukan tipe laki-laki yang kasar."

"Yang jelas bikin Mama tenang itu, keluarganya Anin. Mereka selama ini sayang banget sama Nesya udah kaya mereka sayang sama Amelia. Jadi Mama tenang kalo Nesya jadi menantu di sana meskipun butuh proses buat Anin," jelas Mustika dan Lesmana mengangguk.

"Tapi, Ma. Nesya emang suka beneran sama Anin? Kitakan dulu sudah pernah mau jodohin mereka tapi waktu itu Nesya sudah sama Genta." Lesmana kembali mengingat bahwa sekitar tujuh tahun silam, Abimana dan Arini pernah meminta Nesya untuk dijodohkan dengan Anindito karena pria tersebut sendiri. Namun Lesmana maupun Mustika tidak berani menanyakan hal tersebut kepada Nesya karena saat itu putri mereka sudah miliki tambatan hati.

Saat itu keduanya takut jika menawarkan hal tersebut. Nesya akan merasa bahwa mereka tidak menyukai Genta.

"Itu anak kayanya suka cuma memang gak berharap aja sih, Pa. Kaya kalo dikasih jodoh modelan kaya Anin dia gak bakal nolak," jelas Mustika dan Lesmana mengangguk.

"Rumah jadi sepi ya gak ada dia? Biasanya jam segini suka ngomel ngomentarin drama sambil berisik di dapur nyobain resep baru."

"Kalo enggak mesin jahitnya bunyi mulu seharian sambil ngomel nyari benang."

"Ngadopsi anak aja apa kita ya, Ma?"

"Biar Nesya juga punya adek."

Lesmana tiba-tiba saja melontarkan ide gila, namun saat itu juga Mustika tiba-tiba tersenyum dan mengangguk. "Ide bagus. Dua sekalian mau? Cowo-cowo semua. Tapi masih sekolah ya. Jangan besar-besar."

Tangan Lesmana meletakkan cangkir teh kembali ke atas meja dan meraih bagian belakang kepala sang istri, mendorong kepala istrinya agar dapat ia peluk dengan erat. Menyalurkan rasa bahagia dan juga syukur luar biasa karena telah memilih wanita yang begitu tepat untuk menemaninya hidup bersama-sama hingga akhir hayat.

"Yaudah kita diskusi dulu sama Nesya nanti setelah dia pulang."





. . .



19 Mei 2024.

AdaptationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang