2. D-Day

158 28 8
                                    

Uluwatu, Bali


Keesokan harinya Nesya bangun dengan senyum yang begitu cerah. Bagaimana tidak bila sebelum terlelap ia mencuri kesempatan bertemu dengan sulung Hengkara oleh sebab titipan sang tuan pada Amelia—yang syukurnya berjalan mulus tanpa hambatan berarti. Setidaknya Anindito tak menaruh curiga sebab kedatangan Nesya membawa titipannya semalam.

Keduanya sempat bertukar kabar sejenak, sedikit berbasi-basi atau tepatnya Nesya yang mengulur waktu untuk dapat habiskan waktu lebih lama dengan si sulung Hengkara sebelum berbalik menuju kamar hunian. Setidaknya hal tersebut buat dirinya dapat terlelap dengan begitu nyaman semalam, kendati tak ada bunga tidur yang menghampiri bukan jadi masalah.

Nesya meregangkan sedikit tubuhnya yang terasa kaku meskipun agak kesulitan ketika dalam balutan seragam kebaya seperti sekarang, ia terdiam sejenak menatap pantulan dirinya di depan cermin panjang yang berjarak kurang dari dua meter di hadapannya. Menelisik apa ada yang kurang dari penampilannya saat ini? Pun sepertinya tidak ada. Kedua orang tuanya menciptakan Nesya nyaris sempurna, paling tidak dalam kepercayaannya sendiri.

"Lo gak kelihatan ada galau galaunya di mata gue," celetuk Amelia sembari melahap sepotong buah.

Ah, keduanya kini berada di kamar inap Nesya semalam. Mereka memilih berpindah tempat usai Nesya berkeliling dan menyapa seluruh keluarga Amelia yang sebelumnya berkumpul pada kamar inap ibu dan ayah Amelia, terkecuali Anindito—sang bakal calon pengantin tersebut sudah sibuk persiapkan diri demi kelangsungan acara sore ini. Nesya sendiri  bahkan belum melihat batang hidung kakak lelaki sahabatnya sejak terakhir mereka bertemu semalam.

"Like what I'd said before Mel, sedih mah tetep, tapi mau gimana lagi? Abang lo mungkin bukan jodoh gue, jadi hari ini akan jadi hari melepaskan dimana gue harus tetep on point."

"Lagian Mbak Nara juga gak cakep-cakep amat kalo dibandingin gue. Yah... cakepan dia dikit sih, booster­-nya juga karir sama pembawaan dia yang luar biasa kek ibu-ibu. Keibuan maksud gue." Nesya kembali memandang pantulan wajahnya pada cermin, jemarinya sedikit menyentuh surai hitamnya yang telah tergelung rapi ke belakang dirasa penampilannya telah sempurna.

"Sinting sih lo. Tapi ya gue ngerasa dia tuh agak aneh belakangan ini."

Amelia kembali menusuk salah satu potongan buah di atas piring dengan garpu kecil lalu melahapnya perlahan.

"Beda gimana?" Nesya melangkah menghampiri Amelia dan meraih satu gelas berisikan orange juice yang tergeletak bebas di meja. Ia kemudian beranjak menuju jendela kamar dan bersandar di sana—kebetulan pemandangan dari kamar penginapan tersebut langsung mengarah pada area belakang villa yang menjadi wedding venue hari itu. 

Ia menyesap minumannya pelan sembari memandang keluar jendela. Ia memandangi dekorasi pernikahan dengan tema rustic yang terkesan simple dan minimalist, mengingat konsep intimate wedding yang diusung. Amelia pernah bercerita bila si sulung sengaja memilih private villa yang miliki view fantastis dari atas tebing dimana terbentang kilau birunya samudra Hindia dengan menyajikan hamparan langit jingga yang cantik kala sang rawi terbenam sebagai latar belakang dan akan menjadi highlight acara. Selain karena panorama menakjubkan yang disuguhkan, Nesya pun beri acungan jempol teruntuk wedding planner yang telah menyulap tebing pada area belakang villa menjadi wedding venue yang nampak begitu indah dan memanjakan mata. Well done.

Dapat ia lihat crew wedding planner serta villa berlalu-lalang guna memastikan acara yang berlangsung dapat berjalan tanpa hambatan. Selain itu, orang-orang juga mulai berdatangan, keluarga besar dan juga tamu undangan keluarga Amelia serta keluarga sang calon istri yang sepertinya memang tak begitu banyak atau memang tidak ada sama sekali?

AdaptationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang