CHAPTER III

950 117 2
                                        

Pacaran itu semacam kita menjalin sebuah perasaan emosional sama pasangan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pacaran itu semacam kita menjalin sebuah perasaan emosional sama pasangan. Mencoba saling mengerti satu sama lain. Entah lewat percakapan, tulisan di chat, atau yang lebih sakti melihat hanya lewat gesture yang di luar kebiasaan. 

Gue belum sampai di level yang terakhir tadi. Dan untungnya Renjun orang yang cukup terbuka, buat menyampaikan ketidaksukaan, atau saat dia ingin gue tahu konteks dan atau keinginan dia, meskipun akan butuh waktu buat Renjun bercerita.

Hari Selasa lalu misalnya. Kita berdua sudah mengatur jadwal buat ketemuan. Harusnya kita menghabiskan waktu buat Netflix-an di apartemen gue, sambil misuh-misuh soal tugas dan dosen killer. 

Tapi nyatanya, gue mendapati Renjun nangis sesenggukan saat tiba di apartemen. Gak mau bicara sepatah katapun. Dia cuma nangis dan meluk gue erat-erat.

Biasanya Renjun akan cerita saat dirasa sudah tepat waktunya. Tapi gue kan super kepo ya, karena jarang-jarang Renjun nangis kayak gini. 

Hmm... Gimana caranya mengorek penyebab Renjun menangis?

"Mau makan ramen gak sayang? Pasti laper kan?"

Gue mencoba membuat suasana hatinya lebih baik. Kalau perut laper kan suka tambah sedih, iya gak? Maka makan mi instan kuah pedas gue anggap salah satu solusi–setidaknya usaha untuk membuat suasana hati Renjun membaik.

Renjun mengangguk, memberi ruang buat pergi ke dapur dan gue secepat kilat masak mi instan favoritnya. Kebetulan isi rak memang cuma mi instan, hehe.

Selama gue masak, Renjun cuma berbaring di tempat tidur. Udah nggak nangis lagi. Tapi kelihatan masih sedih. Gue bukannya mau membiarkan Renjun, tapi gue rasa dia juga perlu waktu buat sendirian.

Maka setelah 15 menit semangkuk mi instan pedas dengan telur setengah matang tersaji di meja makan. Gue ngajak Renjun buat menyantap selagi mi nya panas. 

Gue sih udah makan, jadi gue biarkan Renjun menikmati mi instan itu sendirian. Mata Renjun sembab, hidungnya merah, kelihatan lucu karena gue jadi nebak ini antara sedih atau kepedesan gara-gara kuah mi instan.

"Enak?"

"Iya..." Renjun menjawab lirih. Gue jadi ikutan mau nangis, sedih lihat si gemas kayak gini.

Setelah menghabiskan mi instannya, Renjun balik lagi ke kamar, ngumpet di bawah selimut.

Gue mengekor dan ikut berbaring berhadapan, biar gue bisa menatap langsung mata sendu kesayangan gue ini.

"How are you feeling?"

Renjun diam sesaat sebelum akhirnya mulai bercerita. Dia bilang kalau hari itu adalah deadline terakhir buat ngumpulin tugas kelompok dari dosen. 

Renjun sebagai mahasiswa yang teladan, baik hati, rajin, dan berjiwa sosial tinggi, sudah melakukan kewajibannya, yaitu membuat satu chapter yang memang ditugaskan untuknya.

Book Guide No. 623Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang