Crap. It's another morning.
Aku terpaku menatap gerak jarum yang terus menghitung mundur jatah hidupku. Tidak banyak yang berubah dari ruangan berukuran lima kali tiga meter ini sejak aku pertama kali menempatinya. Pendingin ruangan di atas lemari yang berada di sisi kanan tempatku merebahkan diri sekarang, bersisian dengan meja kerja yang kini lebih dari sekadar rapi. Dan tentu saja di hadapanku, menempel pada dinding kamar mandi, jam dinding tanpa bingkai yang seolah terus memintaku untuk bangun. Di bawahnya, berjejer dua koper berukuran dua puluh yang semalam masih dalam keadaan terbuka.
Akibat terlalu larut dalam rutinitas melamun tadi pagi, aku sampai lupa kalau kemacetan bundaran Waru di jam-jam normal berangkat kantor itu chaotic, sama sekali tidak ramah untuk kesehatan mental. Bunyi klakson dan beberapa pisuhan sesekali tak terelakkan, dan yang lebih membuat frustasi adalah semua jenis kendaraan sulit bergerak sementara waktu tidak mau berbaik hati memaklumi kondisi ini. Maka, respon pertamaku ketika akhirnya sampai di depan kantor sepuluh menit sebelum jam operasional adalah menghela napas panjang, bersyukur. Betul-betul, energiku sepertinya sudah berkurang lima belas persen hanya dari perjalanan barusan. Tanpa sempat melihat kepergian bapak ojol seperti yang biasanya kulakukan, aku tergesa menaiki anak tangga dan terkejut ketika menemukan pemandangan yang ganjil di pintu utama gedung. Pak Kuswanto, satpam shift tadi malam, belum bergerak dari posisinya padahal satpam shift pagi sudah datang.
"Hari terakhir ya, mbak Qia?" Langkahku terhenti, bukan sapaan selamat pagi seperti biasanya, aku justru ditodong kabar yang tidak terpikirkan olehku akan sampai di satpam gedung. Baru kusadari kalau pak Kuswanto sudah memakai jaket kulitnya, sementara tasnya tergeletak di lantai, bersandar pada pintu kaca di belakangnya.
"Kok tahu, pak?" jawabku sambil meringis, rada malu juga ternyata ditahu begini. Bukannya menjawab, pak Kuswanto justru membalas senyum sambil menyodorkan sesuatu dalam plastik hitam.
"Ini mbak, ada sedikit dari kami sebagai ucapan terima kasih buat kopinya setiap pagi." Ah, aku jadi ingat sebotol kopi di tanganku, kupikir sudah tidak akan sempat kuberikan.
"Eh, kenapa jadi repot? Oh ya ini kopi buat bapak, saya pikir tadi sudah nggak akan dapat.
"Pisan-pisan telat sithik yo rapopo kok mbak." Kali ini satpam pagi yang menimpali, dengan logatnya yang khas, seingatku dia ini arek Malang. Aku menanggapinya dengan tertawa kecil, sekadar menghargai lawan bicara, sementara kulihat pak Kuswanto sudah mulai membereskan barangnya.
"Ya sudah mbak, saya duluan nggih... Sukses di tempat yang baru ya mbak, terima kasih kopinya," katanya sambil sedikit membungkukkan badannya pamit.
Sejak aku pernah menjadi saksi kecelakaan yang terjadi pada seorang satpam yang pulang dari shift pagi, aku selalu menawarkan kopi untuk satpam di gedung tempatku bekerja, pun kebetulan jam berangkatku biasanya bersamaan dengan pergantian shift mereka. Satu setengah jam, adalah waktu yang kubutuhkan untuk menikmati kesunyian kantor di pagi hari sambil membaca buku di lounge, sebelum luapan manusia datang menyapa.
Rupanya hari ini memang tidak bisa menjadi hari yang biasa, aku lagi-lagi harus menghentikan langkahku setelah menangkap penampakan rumbai-rumbai di salah satu dinding. Aku mengedarkan pandangan, mencari satu sosok yang kuyakini sebagai tersangka.
"Bukan gue, sumpah! Tumben banget telat, bawa apaan itu?" Perempuan berlesung pipi itu bergerak mendekat, lihat saja bibirnya sudah berona terakota, warna yang dipakainya setiap ada acara khusus. Ia mengintip plastik hitam yang kubawa, mengabaikan sorotan tajamku sejak aku menemukannya.
YOU ARE READING
Autophile
Short StoryShidqia Adikara, berbeda dari namanya, Qia justru tidak menyukai hal-hal yang melekat dalam arti nama Adikara. Ia lebih menyukai sunyi, tanpa kata, dan jauh dari sorotan, alasan yang membuatnya berpindah menjadi pekerja dari rumah. Namun, kepulanga...