"Mau jalan-jalan ke Pasar Baru nggak?"
Danureda, si tukang ngide. Aku tau besok Minggu ada pernikahan sepupu di Bandung, tapi aku tidak pernah berpikir akan betulan hadir karena kami masih terhitung sepupu jauh. Jadi, ketika semalam Ibu bilang mas Danu sudah membelikan tiket untuk berangkat ke Bandung, aku dan Bapak hanya bisa saling melongo.
Lebih parahnya lagi, mas Danu membelikan kami tiket tengah malam. Agak tidak waras memang. Tentu saja sepanjang perjalanan kami hanya tertidur, kelelahan. Ibu semalam langsung ke rumah salah satu pegawai untuk titip kunci toko dan membicarakan beberapa hal yang harus dilakukan besok. Aku, sibuk beberes dan menyicil lagi tugas sebelum tidak bisa melakukan apa-apa di kereta. Sementara Bapak, yang bajunya sudah dikemas Ibu, dengan santainya mengopi di pos ronda, katanya setor wajah karena malam ini jadwalnya.
Masih belum selesai, mas Danu justru menjemput kami hanya dengan naik motor dan justru mengajak jalan-jalan ke Pasar Baru. Woe lah, ini mukaku masih kumel dan penuh iler, apa dia tidak prihatin?
Sayangnya, kedua orang tuaku menyetujui tanpa syarat tawaran mas Danu yang tidak masuk akal. Aku tentu saja minta untuk cuci muka dulu, mengamankan satu masker, sebelum tas bawaan kami dibawa pulang salah satu saudara yang ikut menjemput.
"Rahayu, yang biasa diminum Enin dulu buat darah tinggi, apa ya?" Aku menoleh cepat ke arah Bapak yang berjalan bersisian denganku, barusan Bapak memanggil Ibu dengan nama. Kami tiba di perempatan Jalan Pasar Selatan dan Pasar Barat yang dijejali penjual obat herbal. Entah magis apa yang dipakai Bapak, tapi Ibu kemudian mengajak kami berhenti dan membeli satu obat yang ditanyakan Bapak tadi.
Memasuki Jalan Otto Iskandar Dinata, lautan manusia semakin bejubel. Semua suara berebut masuk ke telinga kanan-kiriku. Aku sudah mengapit tangan Bapak, mencari pegangan, takut pingsan.
"Makan cuanki di situ dulu, yuk." Lagi, Bapak tiba-tiba bersuara. Di antara banyaknya penjual cuanki yang sedari tadi kami temui, Bapak memilih satu yang tengah parkir di depan sebuah toko kain.
"Dulu Bapak sama Ibu ketemu di situ." Tunjuk Bapak ke salah satu toko di seberang, kami berakhir ngemper di setengah bagian bahu jalan. Aku baru sadar, rupanya ini wisata masa lalu.
Cerita pertemuan Ibu dan Bapak, seorang penjual dan pengepul pakaian grosiran, kemudian bergulir dari keduanya. Aku bisa melihat sorot mata mereka layaknya tengah memutar film dari jaman dulu, reka adegan yang terasa nyata bagi keduanya.
Aku baru tahu kalau dulu, Ibu sempat ikut bekerja di toko milik tantenya yang hijrah ke Bandung. Hal ini menjelaskan kenapa aku punya beberapa saudara di Bandung tapi berdarah Jawa.
Mas Danu masih asyik menikmati cuankinya, seperti pernah mendengar cerita ini sebelumnya. Sementara bagiku, ini pertama kali aku mendengarnya. Aku jadi sibuk bertanya ini-itu yang kemudian dijawab mereka dengan antusias.
"Rahayu...." Bapak mengambil kesempatan ketika cerita berjeda dan masing-masing kembali menyantap sisa cuanki.
"Maaf ya, saya nggak jadi nepatin janji buat bahagiain kamu terus. Dulu saya bilang kita akan jadi pedagang sukses, nyatanya sekarang hutang kita membengkak. Maaf ya, saya belum jadi suami yang baik buat kamu, masih sering ngecewain kamu."
Aku dan mas Danu saling pandang, tampaknya ini juga di luar rencana mas Danu. Nggak lucu kan kalau satu keluarga nangis di pinggir....
Ibu sudah terlanjur terisak, ia menaruh mangkuk cuankinya, lalu mendekat ke arah Bapak dan bersimpuh.
"Saya yang minta maaf mas, akhir-akhir ini sudah tidak menghormati njenengan, tidak mencoba bantu mas padahal mas juga lagi bingung."
Masalahnya, dibanding kantin rumah sakit, di sini lebih banyak manusia. Alhasil, aku dan mas Danu jadi sibuk tebar senyum canggung, sambil mengelus punggung keduanya. Dengan segera kupakai kembali maskerku, setidaknya bisa mengurangi rasa malu. Bapak dan Ibu masih di posisi yang sama selama beberapa menit, mereka masih saling meminta maaf.
Perjalanan dadakan ke Bandung ditutup dengan Ibu dan Bapak yang memutuskan tinggal beberapa hari lagi, menyisakan aku seorang diri di stasiun. Sebenarnya ada mas Danu, tapi kehadirannya tidak berpengaruh signifikan. Saat ini, dia justru tengah asyik berbincang dengan seorang perempuan yang kuyakini bernama Adara.
Kakakku satu itu sampai lupa kalau adiknya sudah bersiap untuk check in. Aku melihat jam di tangan, kemudian mencium bau yang familiar. Lime dan bebungaan, belum juga aku mengedarkan pandangan, mata kami sudah bertemu lagi. Mas-mas kacamata itu ternyata di sebelahku persis.
"Hai, ketemu lagi." Ia berusaha melongok tiketku, "Lho, kita sebelahan."
Aku menarik seulas senyum terbaik, "Mas Kaivan, kan ya?"
Selama seminggu terakhir, aku sudah mencoba berinteraksi dengan tiga kenalan baru dalam hidupku. Rantika harus bangga.
Hati-hati di jalan aku, semoga sampai tujuan.
YOU ARE READING
Autophile
NouvellesShidqia Adikara, berbeda dari namanya, Qia justru tidak menyukai hal-hal yang melekat dalam arti nama Adikara. Ia lebih menyukai sunyi, tanpa kata, dan jauh dari sorotan, alasan yang membuatnya berpindah menjadi pekerja dari rumah. Namun, kepulanga...