Aram Temaram

11 0 0
                                    

Kepalaku pusing sekali sejak semalam. Bukan saja karena efek menangis yang sampai beringus dan ditertawai Furqon, tapi juga karena Bapak tidak pulang. Aku sudah menunggu sampai pukul dua pagi, tapi tidak ada suara motor atau minimal decit pagar yang didorong.

Tidurku pun tidak nyenyak, subuh-subuh aku melapor ke Ibu, tapi beliau bilang sesekali Bapak memang tidak pulang, jadi biarkan saja. Entah apa dibenak Ibu, aku tidak paham. Kalau bukan karena agenda zoom meeting perdanaku, mungkin aku akan memilih berkeliling kota mencarinya. Nomor teleponnya pun tidak bisa dihubungi.

Seketika rumah terasa tidak memberi rasa aman. Jadilah pagi-pagi ini aku meminta Ibu untuk menanyakan ke Furqon di mana kafe yang buka sedari pagi.

Beruntung, bukan aku pelanggan pertama. Seorang laki-laki berkaca mata sudah lebih dulu nongkrong di satu pojokan. Mata kami bertemu, yang tentu saja kemudian kubiarkan, walau pun harus kuakui dari balik kacamata pun warna matanya terlihat indah. Sebenarnya aku menyangsikan kalau dia seorang kustomer, bisa saja dia bos yang sedang memantau usahanya, kan? Tapi, ya apa salahnya mengunjungi sebuah kafe tepat saat baru buka?

Setelah memesan latte dan sandwich untuk sarapan, aku memilih duduk di salah satu meja bar yang menempel pada kaca dan menghadap ke jalanan. Sepertinya memang didesain untuk orang-orang yang datang sendiri sepertiku. Ada sebuah colokan di kolongnya, salah satu fitur penting yang kucari.

Masih ada waktu sebelum jam yang dijadwalkan, aku pun memeriksa kembali ruang obrolanku dengan oknum bernama Danureda yang dini hari tadi masih centang satu. Di mana orang ini saat aku sangat membutuhkannya?

Aku ada temen akuntan, tapi nggak punya nomornya.

Tipikal mas Danu sekali, cerita panjang kali lebarku hanya ditanggapi bagian yang bersubstansi penting saja. Pertanda dia memang sibuk sekali.

Siapa? Orang mana?

Aku berkejaran dengan statusnya yang masih online, sedikit terharu karena warna checklist pesanku langsung berubah biru.

Adara, inget nggak? Kakel-mu jaman SMA.

Oh, mbak Dara, yang biasanya selalu bersama mbak Ella si mantan orang yang ditaksir mas Danu semasa putih abu-abu. Sayangnya, aku tidak punya waktu untuk menggodanya. Aku kembali mengetik secepat kilat.

Mas Danu emang nggak temenan di IG?

Terlambat. Sepertinya dia sudah offline, setauku memang dia sedang kunjungan lapangan di tempat yang susah sinyal. Argh, aku jadi geregetan sendiri. Menunggu balasan mas Danu semasa seperti ini bisa memakan kesabaran, belum lagi kesabaranku ini setipis kulit martabak.

Aku memutar otakku kembali, mencari siapa-siapa yang bisa kuhubungi. Nihil. Aku tidak merasa sedekat itu dengan seseorang untuk tiba-tiba menanyakan sesuatu. Hanya ada satu nama, Rantika, kesayanganku. Yah tapi, karena ini sudah jam kantor, berarti Rantika baru bisa diganggu di jam makan siang.

"Gimana ya, Tik, ya? Lo ada kenalan?" Aku sudah selesai dengan sesi zoom, dan berhasil menyicil 10% tugas pemograman. Gelas di hadapanku sudah ada dua, satu yang kosong bertumpukan dengan piring bekas sandwich yang datang sejam setelah aku pesan.

"Kenalan gue ya di daerah-daerah Surabaya ini lah. Lo masa nggak ada temen gitu di sana?"

"Ada. Tapi dah lama banget nggak di-waro, kan nggak enak ya dateng pas butuh doang."

"Lo juga nelpon gue baru ini ya setelah yang ngabarin kalo dah sampe rumah."

"Sorry sorry... ternyata work from home tetap makan energi ya, Tik. Justru gara-gara nggak ada rutinitas yang pasti, dan karena di rumah, jadi banyak banget urusan yang ngerusuh. Tiba-tiba jadi harus nge-handle banyak hal dan ketemu sama orang-orang baru, pusing banget."

AutophileWhere stories live. Discover now