Kalau boleh, aku ingin diantar sampai stasiun Bandung, meneruskan separuh malam dengan light gazing atau minimal menyelesaikan As Long As The Lemon Trees Bloom. Aku tidak masalah menambah tujuh jam tetap dalam posisi seratus lima puluh derajat, selama headset-ku masih sanggup memutar suara hujan jadi aku bisa membayangkan bulir-bulirnya memenuhi jendela gerbong. Aku masih ingin mengamati bapak-bapak pre-lansia di bangku samping yang sudah tertidur sementara bukunya belum sempat tertutup, atau menyapu rumah-rumah di pinggir rel yang tak lagi nyaring.
Idealnya, begitu yang seharusnya terjadi. Sayangnya, siapa yang bisa menahan kantuk pasca menangis. Aku tidak ingat lagi lepas dari Kertosono, lalu tiba-tiba suara pengumuman membangunkanku, kemudian berganti dengan suara Bapak yang memanggil dari kejauhan, dan sekarang tidurku terganggu oleh suara palu yang bertalu-talu. Tidak pengertian sekali aku sedang memakai kartu AS sebagai perantau yang baru pulang untuk tidur lagi setelah subuh. Sejak kapan pula samping jendelaku menjadi arena gladiator para kucing, mereka meraung-raung seolah dunia hanya milik mereka berdua. Sebuah pagi yang jauh dari tenang.
Kesadaranku perlahan jadi kembali, mungkin ini efek alarm tubuh, atau juga karena seberkas cahaya yang berhasil menerobos ventilasi menerpa wajahku, yang jelas mataku masih terasa lengket tidak mau terbuka. Aku merapatkan kembali selimutku, berharap dengan menenggelamkan diri akan meredam setiap bising di luar.
"Bapak kabur aja terus, biar nggak usah selesai masalahnya." Sebuah suara yang familiar, gara-garanya telingaku jadi seratus persen awas.
"Ya Bapak tu juga udah usaha, Bu." Persis, itu suara Ibu dan Bapak. Kini mataku terbuka sempurna.
"Makanya Ibu bilang juga apa...."
"Ya udah lah...."
"Yo nggak bisa ya udah lah to, Pak!"
"Ibu mbok jangan ribut-ribut, nanti adek bangun, kasian."
Merasa terpanggil, aku berniat untuk bangun, namun suara kunci yang diputar dari ruang tamu lebih dulu terdengar.
"Halah, nggak usah ke toko sisan!" teriakan Ibu berbuah debam pintu yang cukup keras.
"Sendirinya bilang nggak boleh ribut, mbelgedhes." Ibu masih menggerundel dengan volume yang sama sekali tidak diturunkan, sementara aku terbengong di atas tempat tidur. Ini apa yang sebenarnya sedang terjadi, sih? Perasaan aku tidak mendengar kabar apa pun dari siapa pun.
Sekeluarku dari kamar, aku tidak mendapati siapa pun. Tidak lama setelah Bapak pergi memang aku mendengar suara motor, itu pasti Ibu yang mau membuka toko di pasar. Aku sudah menyusun tiga skenario untuk menanyakan ada gerangan apa di rumah ini, tapi sepertinya aku terlalu lama berhitung dengan situasi sampai melewatkan timing yang tepat.
Tersisa suara gelembung air di galon dan riuh rendah renovasi tetangga, nuansa yang persis sekali kubayangkan ketika aku nantinya memulai pekerjaan baruku, yang bisa dilakukan dari rumah. Berisik tetangga masih masuk dalam ambang batas toleransiku, yang penting tidak perlu ada seseorang yang tiba-tiba memanggilku saat aku tengah fokus. Namun, percekcokan tadi pagi masih saja terngiang, membuatku bisa mengkhayalkan di mana posisi Ibu dan Bapak saat beradu mulut. Rasanya aneh sekali, rumah ini memang hening, tapi kepalaku terus berisik.
Momen makan malam juga terasa kurang nyaman, Ibu mencoba sebiasa mungkin tapi ia dengan sengaja mengalihkan pembicaraan ketika aku bertanya di mana Bapak. Sementara Bapak yang bergabung lima belas menit kemudian, tidak banyak bicara. Mereka masih menjadikan aku sebagai topik utama, pun Ibu masih mengambilkan makan untuk Bapak seperti biasa, seolah tidak terjadi apa-apa. Setiap kunyahanku jadi terasa hambar, potongan informasi yang tersaji di hadapanku masih tidak bisa kucocokkan. Berlama-lama di meja makan tidak lagi jadi menyenangkan.
Rumah, yang tidak lagi terasa rumah.
Dua hari setelah pertengkaran pertama yang kutahu, aku terus mendengar rutinitas yang sama setiap pagi. Kisaran waktunya adalah sekitar pukul tujuh pagi. Polanya mirip, Bapak yang akan selalu pergi duluan, dan Ibu yang lebih banyak mengomel. Topiknya pun mulai beragam, dari yang aku tidak paham sampai hal sepele seperti Bapak yang tidak pernah lagi menyiram bunga.
Masalahnya, besok aku punya jadwal zoom meeting pukul delapan pagi, yang berarti aku harus ke kamar mandi pada pukul tujuh. Bagaimana caranya aku keluar kamar tanpa memperkeruh suasana? Pasti akan canggung sekali. Sementara aku terus berpikir kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi besok, tanpa kusadari rumah telah menjadi sepi. Kulihat jam beker di nakas samping tempat tidur, lho... ini masih jam tujuh pagi kok, tumben.
Tanpa suara, aku setengah berjinjit menuju pintu. Niat hati mau mengintip dengan membuka pintu sedikit tapi mataku justru bertemu tangan Ibu yang sepertinya hendak mengetuk kamarku.
"Ngapain dek?"
"Hah, enggak. Lha Ibu ngapain?" tanyaku memperhatikan Ibu yang masih menggulung rambutnya dengan handuk, sepertinya baru selesai mandi.
"Ibu mau kontrol ke rumah sakit. Lupa bilang semalem, kamu mau ikut?"
"Oh oke, aku mandi dulu," kataku lalu bergegas mengambil baju di lemari. Ibu masih diam di tempat, raut mukanya seperti mau mengatakan sesuatu.
"Kenapa, Bu?"
"Enggak, nggak papa. Ya udah, cepetan nanti antrian selak banyak."
Tiga puluh menit kemudian, ketika aku sudah siap, justru kudengar sayup-sayup suara Ibu mengobrol dengan seseorang. Aku mendekat ke arah ruang tamu, melongokkan kepala di balik lemari pembatas dan justru bersitatap dengan seorang pemuda yang duduk berseberangan dengan Ibu. Sadar lawan bicaranya melihat ke arah lain, Ibu lantas menengok.
"Sini dek, duduk. Masih inget nggak ini temen TK-mu?"
Aku menggeleng sebagai jawaban, jantungku tiba-tiba berdegup kencang. Biar kujelaskan, posisi saat ini adalah seorang lelaki dari masa lalu yang tidak kuingat, tiba-tiba bertamu dan bertemu Ibuku. Kalau dalam cerita-cerita fiksi yang kubaca, adegan ini muncul ketika....
"Ini Furqon, anaknya Bu Halimah, temen deketnya Ibu itu lho. Nah, Ibu biasa kemana-mana dianter nak Furqon."
Oh, aku salah, hehe. Tampaknya tujuan utama tamu ini memang untuk bertemu Ibu. Boleh saya menyingkir sebentar? Ada harga diri yang butuh dikembalikan. Tanpa merasa grogi, lelaki yang diperkenalkan Ibu itu justru tersenyum padaku.
"Saya juga nggak ingat Bu kalau pernah satu sekolah sama....?" Tangannya merujuk ke arahku, matanya meminta bantuan.
"Qia, Shidqia Adikara," jawabku sambil memasang senyum yang kupaksa dan kuyakini aneh sekali. Dia bahkan tidak ingat namaku, hebat sekali memang imajinasiku.
"Oke, kita lanjutkan obrolan di jalan ya?" Ibu tiba-tiba sudah bangkit, disusul Furqon, meninggalkan aku yang masih clueless.
"Furqon ikut?" tanyaku yang mendapat hadiah Ibu mengerutkan dahi.
"Lha iya to, Furqon yang nyopirin. Emang kamu dah bisa bawa mobil?"
"Oh, kita pake mobil?"
"Motor tadi pagi dibawa Bapak nggak tahu ke mana." Ibu menjawab dengan sewot. Aku hanya manggut-manggut sambil mengekori Ibu dan Furqon. Bukan salahku dong ya, kan Ibu tidak memberi briefing perihal yang satu ini.
Dari belakang, aku menatap punggung Furqon yang dibalut kemeja biru langit, terlihat tidak asing. Nanti, saat tengah melamun mengamati jalanan, aku baru sadar kalau kemeja itu mirip sekali dengan milik mas Danu. Apa kabar ya, orang itu?
YOU ARE READING
Autophile
Short StoryShidqia Adikara, berbeda dari namanya, Qia justru tidak menyukai hal-hal yang melekat dalam arti nama Adikara. Ia lebih menyukai sunyi, tanpa kata, dan jauh dari sorotan, alasan yang membuatnya berpindah menjadi pekerja dari rumah. Namun, kepulanga...