1. Namanya Saka

212 18 2
                                    

Ku menangis membayangkan~
Betapa kejamnya dirimu atas diriku~

Pemuda itu bernyanyi, sisir yang berada di genggamannya sudah beralih fungsi seolah menjadi mikrofon.
Detik selanjutnya pemuda bersurai hitam itu mematutkan diri di depan kaca yang tertempel di lemarinya, menyisir rambutnya yang masih basah.

"Ceilah ... merdu banget suara seorang Saka." Puji remaja itu pada dirinya sendiri setelah menyanyikan potongan lirik lagu. Entah kenapa ia memilih lagu itu untuk dinyanyikan,  backsound salah satu sinetron yang banyak dan kerap digemari oleh ibu-ibu. Jika kalian bertanya kenapa remaja itu tau tentang itu, jelas saja ia tahu karena ia juga terkadang menontonnya dengan sang ibu.

Pemuda itu yang bernama lengkap Saka Bintang dan kerap dipanggil Saka itu meletakkan sisir yang baru saja digunakannya ke tempat semula.

Remaja itu berjalan keluar dari kamarnya, menuju dapur. Saka tersenyum melihat ibunya yang tengah menyiapkan sarapan untuk mereka berdua.

"Baunya enak banget nih,"ucap Saka mendekati ibunya, Mira namanya.

Wanita yang tengah memasak itu menoleh kebelakang dan tersenyum ketika melihat putranya.

"Masak apa, Bu?"

"Masak sayur asem."

Saka melongok melihat apa yang sedang dimasak ibunya di dalam panci.

"Ish kamu, mbok ya duduk aja yang anteng di kursi sana.  Ra usah ganggu ibu masak to." Mira yang terganggu dengan kegiatan Saka menyuruh remaja itu untuk duduk.

"Aku kan cuma liat, Bu." Saka mengerucutkan bibirnya ke depan.

"Aku bantu, ya?" Tawar Saka kepada Mira.

"Wes wes ndak usah. Duduk sana. Nanti gak selesai kalo kamu ajak ngobrol terus." Tangan Mira terangkat menyuruh sang putra untuk tidak mengganggu kegiatannya.

"Yaudah." Saka akhirnya menurut,  duduk manis di atas kursi berbahan kayu yang ada di dapur.

Ia tersenyum menatap punggung sang Ibu, wanita terkuat yang pernah ia kenal. Wanita hebatnya.

"Ngapain to kamu, kok senyum-senyum gitu?" Heran Mira sesaat setelah ia menaruh piring yang berisi tahu ke atas meja dan mendapati anak laki-lakinya yang tengah menatapnya sembari tersenyum.

"Nggak apa-apa." Saka menggeleng, remaja itu lalu beranjak ke sudut ruangan yang terdapat rak piring. Ia mengambil dua piring dan sendok beserta gelas dan membawanya ke ruangan depan tak lupa dengan sepiring tahu yang ada di meja tadi, meletakkannya di atas tikar biru yang sudah tergelar di bawah dan menatanya.

Tak lama kemudian Mira datang dengan membawa wadah berisi sayur asem yang baru saja dimasaknya.

"Makan yang banyak, Le." Mira menyendokkan nasi ke piring Saka.

"Banyak banget, Bu. Kurangin." Saka meminta ibunya untuk mengurangi nasi yang sudah ada di piringnya.

"Sedikit ini."

"Gak, Bu. Aku gak bakalan habis," ucap Saka yang membuat Mira menghela napas dan mengurangi porsi nasi Saka.

"Segini?" Tanya Mira memperlihatkan isi piringnya.

"Kurangin lagi."

"Makan apa segini? Pantas aja badanmu itu kurus kayak gitu." Mira malah menambahkan nasi lagi.

"Loh, Bu? Kok ditambahin?"

"Makan yang banyak, biar cepet gendut." Mira menyerahkan piring nasi yang menjadi omongan sedari tadi. Sedangkan sang putra hanya mengerucutkan bibirnya ke depan, merasa kesal.

"Kayak si Tomi itu loh, makannya nyenengin," ucap Mira dengan menyebut salah satu anak tetangga yang berbadan gempal.

"Terus Ibu mau aku kayak Tomi?"

"Ya gak juga to. Maksud ibu kalo makan itu mbok ya yang niat."

"Seharusnya itu ibu yang makannya banyak."

"Kan butuh tenaga." Saka mulai memakan sesuap nasi ke dalam mulutnya.

"Udah banyak ini, Le."

Saka hanya mengangguk menanggapi dan selanjutnya hening yang menguasai, hanya dentingan sendok yang beradu dengan piring. Sesuai dengan adab makan, dilarang berbicara.

"Biar aku yang cuci piring, Bu." Saka mengambil alih piring dari tangan Mira setelah keduanya selesai menghabiskan sarapan pagi itu.

Mira tersenyum dan mengangguk. Ia bersyukur dikaruniai putra yang mengerti keadaannya. Tidak menuntutnya macam-macam.

"Banyak to, Bu, cuciannya?" tanya Saka ketika melihat ibu nya membawa satu ember besar berisikan pakaian kotor yang akan dicuci.

"Agak banyak. Lumayan uang nya bisa ditabung."

Saka tak menjawab, jujur ia merasa tak tega melihat ibu nya membanting tulang untuknya. Remaja berparas rupawan itu segera cepat-cepat menyelesaikan kegiatan mencuci piring di depannya dan menaruhnya di rak piring. Agar ia bisa membantu pekerjaan sang ibu.

"Loh? Cepat banget kamu cuci piringnya?" tanya Mira heran karena Saka sudah ada di depannya.

"Saka sudah ahli, Bu." Remaja itu menjawab dengan candaan dan ikut berjongkok di samping ibunya. Ya ... Pekerjaan Mira adalah sebagai buruh cuci, menyuci baju setiap harinya. Ia bekerja di salah satu usaha laundry dan tugasnya adalah mencuci pakaian yang tidak bisa dicuci menggunakan mesin cuci. Demi kelangsungan hidupnya dengan sang putra, Saka.

"Bu, aku boleh kerja nggak?" tanya Saka yang tangannya sudah dipenuhi busa sabun.

"Nggak. Buat apa kamu kerja? Biar ibu aja, tugasmu itu cuma sekolah, belajar biar pinter. Biar sukses, hidupnya gak susah kaya ibu." Tentu saja Mira menolak tegas apa yang ditanyakan oleh Saka. Ia hanya menginginkan Saka agar fokus dengan belajarnya. Sedangkan Saka hanya diam tidak menanggapi, selalu saja seperti ini jawabannya.

Saka meraih tangan Mira yang basah, melihat tangan kasar sang ibu yang selama ini berjuang membesarkannya.

"Bu, Saka gak tega liat ibu nyuci baju orang setiap hari kayak gini. Lihat? Tangan ibu jadi kasar, Saka gak apa-apa kalo kerja bantu ibu. Saka bisa bagi waktu, Bu." Saka mengelus lembut tangan sang ibu.

"Gak, le. Biar ibu yang kerja, Saka fokus belajar, biar sukses. Kan kalau Saka sukses ibu juga ikutan bangga sama Saka."

"Apa uang jajan yang ibu kasih kurang?"

Saka menggeleng, tentu saja tidak. Uang jajan yang diberikan sang ibu selama ini tidak pernah ia jajakan dan ia tabung, untuk masa depannya kelak.

"Kamu cukup fokus sama belajarmu, le. Buat ibu bangga sama kamu. Buat ibu merasakan rasanya berhasil mendidik kamu. Buat ibu seneng. Terus nanti bawa ibu makan makanan yang kamu penginin itu, apa namanya? Susi apa?" tanya Mira berusaha mengingat nama makanan yang muncul di iklan tv tempo hari.

"Sushi, Bu. Ada huruf 'h' nya." Saka menjawab lalu tersenyum.

"Nah itu. Nama kok ya susahmen."

Saka terkekeh lalu memeluk sang ibu, ia bahagia.

"Makasih, Bu. Saka pasti rajin belajar biar bisa banggain ibu," ucap Saka menatap wajah sang ibu.

"Iya, sekolah sing pinter. Banggain ibu," ucap Mira mengusap rambut Saka, seseorang yang membuatnya semangat selama ini. Bukannya seorang ibu akan bahagia ketika melihat anaknya bahagia? Seorang ibu juga akan berusaha agar anaknya selalu bahagia bukan?

"Maaf, Le. Ibu belum bisa bahagiain kamu."

Ini kisah tentang mereka berdua, kisah ibu dan putranya yang hidup dalam kesederhanaan. Biar kuceritakan kisah mereka kepada kalian semua.

~Temu~

Hehehe ketemu lagi sama aku :)
Aku bawa cerita baru ....
Ayo kenalan sama Saka dan ibunya ^^
Tambahkan ke perpustakaan kalian, ya?
Terima kasih 🖤

TEMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang