Bel pulang sekolah telah berbunyi sekitar setengah jam yang lalu. Suasana sekolah perlahan menjadi sunyi, hanya menyisakan beberapa siswa yang masih bertahan untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler pilihan mereka. Di antara kesunyian itu, langkah kaki Melody terdengar pelan, menyusuri koridor menuju ruang musik. Setiap Kamis, ia selalu menanti-nantikan momen ini—waktu di mana ia bisa melarikan diri sejenak dari hiruk-pikuk kehidupan sekolah.
Sambil berjalan, Melody menatap layar ponselnya, membaca pesan dari sahabatnya, Melin.
Melin
Nanti pulangnya kabarin gue ya, gue yang jemput.
Melody
Oke.
Senyum tipis tersungging di bibirnya, memberikan sedikit kehangatan di tengah koridor yang mulai sepi. Tak ingin berlama-lama, ia mempercepat langkah kakinya menuju lantai dua, tempat ruang musik berada.
Namun, ketika ia berbelok di ujung koridor, pandangannya tiba-tiba bertemu dengan sosok yang sangat dikenalnya—Arsen, mantan pacarnya. Bersama Dewangga, Malik, dan Bima, mereka baru saja berganti pakaian olahraga, siap untuk bermain sepak bola.
Hati Melody berdegup kencang, perasaan yang selama ini berusaha ia pendam tiba-tiba menyeruak. Tatapan mereka bertemu, dan seketika itu waktu terasa berhenti. Dalam keheningan yang mendadak, Arsen pun tampak tertegun, seakan menyadari ada sesuatu yang belum selesai di antara mereka.
Kegugupan menyelimuti Melody, membuat langkahnya menjadi goyah. Ketika ia mencoba menaiki tangga menuju lantai dua, perasaannya yang berkecamuk membuat kakinya tersandung ujung anak tangga. Ia terhuyung, hampir jatuh, tetapi dengan cepat meraih pegangan tangga untuk menahan tubuhnya.
Jantungnya masih berdebar, bukan hanya karena hampir terjatuh, tetapi juga karena rasa malu yang mendadak menyeruak. Sekilas, ia melirik ke arah Arsen dan teman-temannya, berharap mereka tidak terlalu memperhatikan. Dengan pipi yang mulai memerah, Melody menguatkan dirinya, menarik napas dalam-dalam, dan melanjutkan langkahnya menuju ruang musik.
Namun, dalam hatinya, perasaan itu masih tersisa—tatapan singkat yang berbicara lebih banyak daripada kata-kata, dan kenangan yang kembali mengusik hatinya yang belum sepenuhnya pulih.
Setibanya di ruang musik, Melody segera menuju piano yang terletak di sudut ruangan. Suasana sepi dan tenang di ruangan itu seperti selalu, memberikan kenyamanan yang begitu dalam. Jemarinya dengan lembut menyentuh tuts piano, dan tanpa disadari, melodi yang tenang namun penuh emosi mulai mengalun, membawa perasaannya yang tertahan.
Setiap nada yang dimainkan seolah membentuk jembatan menuju kenangan yang selama ini ia coba kubur. Waktu-waktu indah bersama Arsen, percakapan hangat, dan senyuman yang dulu tak pernah gagal menghangatkan hatinya. Semuanya kembali hadir dalam setiap nada yang ia mainkan. Melodi itu mengalir lembut, tetapi menyimpan kedalaman perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
Ketika lagu berakhir, keheningan kembali menyelimuti ruangan. Melody menutup matanya sejenak, merasakan air mata yang hampir menetes. Dengan perlahan, ia membuka mata dan menoleh ke arah jendela besar di ruangan itu, yang menghadap langsung ke lapangan sekolah.
Di sana, ia melihat Arsen bersama Dewangga, Malik, dan Bima sedang bermain sepak bola. Mereka tertawa, tampak bebas dan riang—begitu berbeda dengan perasaannya yang kini terasa begitu berat. Melody terdiam, matanya terpaku pada sosok Arsen. Ada kerinduan yang begitu dalam, namun juga kesadaran bahwa semuanya sudah berubah. Ia bertanya-tanya, apakah Arsen pernah merasakan hal yang sama? Atau semua itu hanya ada dalam benaknya saja?
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay On Mine
RomanceApa yang tersisa dari kisah mereka adalah kenangan yang membekas di hati, meski kini mereka tidak lagi bersama. Dulu, dia ada di sisinya, menjadi bagian penting dalam hidupnya, namun sekarang hanya ada kekosongan yang sulit diisi. Kehilangan arah da...