Di Batas Ruang Dan Kenangan

40 21 10
                                    

     Arsen melangkah melewati koridor dengan santai. Melewati setiap ruang kelas dan siswa yang terus memandanginya dengan tatapan takjub akan ciptaan Tuhan yang rupawan itu. Arsen menghembuskan napasnya pelan sembari terus melangkah. Terkadang memiliki apa yang dikagumi banyak orang membuatnya sedikit tidak nyaman, seperti yang sekarang Arsen alami dan rasakan.

Arsen Ergabrata Kaisar—tiga suku kata namun jika diucapkan mengundang teriakan banyak wanita. Orang lain mungkin sering memanggilnya 'Arsen,' namun tak jarang pula yang memanggilnya 'Kaisar,' nama belakang Arsen yang berkesan gagah dan megah.

Arsen memasuki kelasnya yang hampir semua siswanya telah hadir tepat waktu, kecuali dirinya yang datang saat jam pelajaran hampir dimulai. Dengan langkah santai, pria itu berjalan menuju kursinya, meletakkan tas sekolahnya dengan asal, kemudian memasang earphone di telinganya dan memejamkan mata untuk menyambung tidurnya yang terasa tak cukup.

"Siapa kemarin yang piket enggak balikin buku paket Biologi ke perpustakaan?!" teriak Tari, sekretaris kelas 12 IPA lima. Gadis itu memang terlalu rajin dan patuh dalam setiap peraturan yang ada, kecuali jika menyangkut Dewangga, pria yang dia sukai.

"Kemarin anak-anak pojok yang piket, mereka mana mau balikin buku, piket harian aja nggak mau," ungkap salah satu siswa yang duduk tak jauh dari tempat Tari berdiri.

Tari menatap area pojok kelas, siapa lagi kalau bukan gerombolan Arsen. Gadis itu menghembuskan napasnya kesal, bahkan setelah ditegur, tidak satu pun dari mereka berempat yang bergerak untuk mengembalikan buku itu.

"Lo semua! Arsen, Bima, Malik, kalian nggak ada yang mau balikin buku? Tanggung jawab dong," perintah Tari dengan melewatkan satu nama, yaitu Dewangga atau Angga.

Salah satu lelaki di sana mengangkat kepalanya dan menoleh. Malik menatap setumpuk buku yang terletak di meja guru dengan malas. "Udah biarin, nanti juga ada anak kelas lain yang pelajaran pertama biologi bakal ambil bukunya."

"Ya tapi kan itu bikin meja guru penuh, Malik. Nanti kalau gurunya marah gimana?"

"Ribet lo, tinggal cari alesan aja susah amat. Lagian kenapa kalau nunggu siswa lain ambil? Repot banget lo."

Tari menghentakkan kakinya kesal saat mendapat respons kasar dari teman sekelasnya itu. Tapi mungkin jika bukan Malik yang menjawab melainkan Dewangga, Tari tidak akan marah karena situasinya pasti jelas berbeda. Gadis itu akan bertingkah baik di depan Dewangga.

"Jadi cowok tanggung jawab dikit dong, kalian tuh selalu nggak pernah mau piket kelas, nggak mau balikin buku paket. Kasihan anak kelas lain yang mau ambil bukunya, lo semua mikir nggak sih kalau—"

"Lo masih mau terus nge-ceramahin cowok gue?"

Tari menoleh ke arah pintu kelas dengan sedikit terkejut sambil menatap Melin dengan sedikit arogan. Gadis dengan rambut sepundak itu melangkah masuk, mendekati Tari dengan tatapan sinis.

Sama seperti kebanyakan siswi lainnya di sekolah ini, Tari juga tidak menyukai gadis itu, Melin, kekasih Dewangga. Tari terbilang cukup berani untuk menantangnya secara terang-terangan.

"Lo mau pamer kalau lo tuh anak yang disiplin dan bertanggung jawab di depan cowok gue?" ucap Melin sedikit overthinking sambil berpindah tempat mendekati meja Dewangga.

Sebenarnya tidak salah apa yang barusan Tari ucapkan, hanya saja Melin memang tidak menyukai Tari, karena gadis itu selalu mencari perhatian Dewangga sejak dulu. Bahkan gadis itu berani terang-terangan tidak menyukai dirinya di depan semua orang.

"Enggak! Gue lagi nasehatin mereka biar ngelakuin tanggung jawab mereka. Lagian gue bukan ceramahin Angga, gue—"

"Banyak alasan lo. Semua tuh udah jelas dari yang Malik bilang. Lo mending nurut deh, memang gue nggak tau apa kalau lo suka sama Angga? Nggak usah kebiasaan banyak gaya di depan cowok orang, sok pahlawan banget lo bilang bukan ceramahin Angga!"

Stay On MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang