Hari Senin akhirnya tiba, mengakhiri akhir pekan yang penuh debar bagi Melody, terutama setelah remedial PJOK yang ia jalani pada hari Jumat lalu. Di sekolah barunya, sudah menjadi pemandangan biasa bahwa siswa perempuan bertubuh paling pendek selalu ditempatkan di barisan terdepan saat upacara. Melody sendiri berada di barisan kedua dari depan, sebuah posisi yang tak ia tahu harus disyukuri atau tidak.
Beberapa menit berlalu sejak upacara dimulai. Udara pagi yang biasanya menyegarkan, kali ini terasa berat dan menekan.
"Kenapa panas banget sih," gumam Melody dalam hati, mengusap peluh yang mulai mengalir di dahinya. Sinar matahari yang meninggi membuat matanya menyipit, seolah memaksa semua siswa untuk bertahan di bawah teriknya.
Suasana upacara yang monoton tiba-tiba terganggu oleh pergerakan di tengah lapangan. Beberapa siswa dihukum karena keterlambatan, berdiri di depan untuk menjalani hukuman mereka. Mata Melody tertuju pada salah satu dari mereka. "Arsen?" bisiknya pelan. Detak jantungnya berubah seketika, berdebar lebih cepat, seolah ada kupu-kupu beterbangan di dalam perutnya.
Sosok Arsen terlihat begitu tenang di bawah sinar matahari yang terik, kulitnya terlihat sedikit berkeringat, namun wajahnya tetap santai. Mata Melody tak bisa berpaling. Ada sesuatu yang berbeda dalam cara Arsen berdiri di sana, seperti memancarkan aura yang membuat suasana panas di sekitarnya tidak ada artinya. Setiap kali Melody melihatnya, rasanya jantungnya berdegup lebih keras, mengirim getaran hangat ke seluruh tubuhnya. Bahkan, tanpa berkata apa-apa, Arsen selalu tampak memikat, seolah-olah dunia di sekitarnya menjadi lebih lambat ketika ia hadir.
Tak disangka-sangka, Arsen mendongak. Mata mereka bertemu. Detik itu terasa begitu lama, seolah waktu berhenti.
Melody tercekat, merasa seperti tertangkap basah. Tatapan Arsen begitu dalam, seperti menembus pertahanan yang selama ini ia coba bangun. Jantungnya semakin berpacu, membuatnya merasa tak berdaya di bawah sorot matanya. Ada sesuatu yang begitu kuat dalam tatapan itu, seakan-akan Arsen bisa melihat semua yang ia coba sembunyikan.
"Gila, jangan bilang dia sadar gue ngeliatin dia," pikirnya panik. Cepat-cepat, ia menundukkan kepala, berusaha menyembunyikan diri di balik punggung temannya. Tapi bahkan ketika menunduk, ia masih bisa merasakan tatapan Arsen di belakang kepalanya, membuat pipinya semakin panas. Dan yang lebih mengejutkan lagi, dari sudut pandangnya yang terbatas, Melody masih bisa melihat senyuman kecil di sudut bibir Arsen—seolah menahan tawa melihat reaksinya yang gugup.
Melody bisa merasakan wajahnya memanas. "Ya ampun, gue malu banget," batinnya. Arsen tampak menikmati momen canggung itu. Ada sesuatu yang lucu dalam cara Melody buru-buru menyembunyikan diri, yang menurutnya menarik. Setiap gerakan gugup Melody justru semakin memikat perhatiannya.
Sementara amanat pembina upacara terus berlanjut tanpa akhir, Arsen tetap memperhatikan Melody. Tatapan itu, yang awalnya terasa menakutkan, kini berubah menjadi sesuatu yang lebih... hangat. Sedangkan Melody, dengan segala upaya, mencoba menenangkan debaran di dadanya dan menyembunyikan diri sebaik mungkin. Satu momen singkat yang seakan membekas di ingatan mereka, menggantung lebih lama dari yang diharapkan.
Saat jam istirahat tiba, kantin sekolah mulai dipenuhi oleh siswa yang berhamburan keluar dari kelas. Suasana ramai dengan suara obrolan dan tawa, namun tidak membuat Melody merasa lebih tenang. Ia masih terbayang pertemuan tatapan dengan Arsen saat upacara tadi pagi. Sekarang, ia hanya ingin duduk tenang di sudut kantin dan menghindari perhatian.
Namun, rencana itu tak berjalan mulus.
Melody sedang sibuk mengaduk minuman ketika seorang siswi menghampirinya. Aurelin Mahira, yang biasa dipanggil Aurel, duduk tepat di hadapannya tanpa permisi, memandang Melody dengan tatapan tajam yang membuatnya sedikit terkejut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay On Mine
RomanceApa yang tersisa dari kisah mereka adalah kenangan yang membekas di hati, meski kini mereka tidak lagi bersama. Dulu, dia ada di sisinya, menjadi bagian penting dalam hidupnya, namun sekarang hanya ada kekosongan yang sulit diisi. Kehilangan arah da...