Padahal sudah di dalam rumah, di kamar pula, tapi udara tipis mengepul setiap napas berembus dari lubang hidungku dan mulutku. Aku melihat jam kuno yang tergantung di atas pintu kamar, jam itu bilang kini waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Ya, tepat di tengah malam.
Aku kesal, sampai-sampai aku berteriak kepada Ibu kalau aku tidak bisa tidur saat malam hari. Rasanya percuma, setiap kali aku mencoba tidur bahkan dalam keadaan tenang, tetap saja aku selalu terbangun setiap tengah malam sampai fajar tiba. Anehnya, aku sama sekali tidak mengantuk ketika waktu memasuki dunia pagi siang, hingga sore hari.
Aku mengucek mata, tiba-tiba saja gatal. Ah, aku rasa akibat debu yang berterbangan karena aku lupa membersihkan kamar ini.
"Malas memang sulit dilawan, padahal ini sudah menjadi rutinitasku setiap tiga hari sekali. Kalau Ibu tahu, pasti aku sudah dijewer, tapi biarlah," kataku dengan nada mengantuk.
Aku bangun untuk minum. Tenggorakan ini terasa kering. Sambil membuka pintu, aku menarik syal rajut buatan Ibu yang menggantung tepat di sebelah pintu geser ini. Aku pakai sambil berjalan ke arah dapur, mataku memandangi sekitar rumah dimana hampir semua lampu sudah dimatikan. Wajar sih, ini kan waktunya orang tidur.
"Apa itu?" Aku bingung, ada secercah cahaya di ujung taman belakang.
Aku mengangkat kedua bahuku, merasa masa bodoh dengan keanehan yang sedang ku rasakan.
"Beginilah resiko orang yang tinggal di gunung. Untung saja Ayah tidak membangun rumah terlalu dalam, bisa-bisa aku tidak pernah tidur demi waktu untuk ke sekolah," ucapku setengah hati.
Saat sampai di dapur, aku mencari di mana Ibu menyimpan teko air itu? Karena sudah hampir dua menit, aku belum juga menemukan benda itu. Akhirnya mau tak mau aku harus memeriksa kendi besar sebagai penampungan air matang.
Bahuku merosot kecewa. "Astaga, habis total. Bagaimana caranya aku minum?"
"Kakak sedang apa?"
"Sedang mencari nyawa," jawabku asal.
"Tapi kan kakak masih hidup, bagaimana caranya kakak mencari nyawa?"
Aku hampir saja membanting gelas digenggaman ku, sebab kesabaran hampir saja habis. Aku sampai mencengkeram tiang bambu di sebelahku, akibat kepolosan adik pertamaku.
Aku berbalik badan sambil berkata tegas, "Mira, cepat kembali ke kamar. Jika kau masih keras kepala, aku akan mengatakan ini kepada Ibu. Kau bisa dihukum, lho."
Aku menahan tawa saat melihat adik perempuanku yang lucu panik setengah mati. Dia sampai terlonjak kaget begitu aku mengatakan kalimat terakhir. Dengan kekuatan kilat khas orang ketakutan, Mira berlari, kembali ke kamar untuk menyambung tidurnya.
"Sepertinya aku terlalu berisik, makanya dia sampai terbangun," aku menduga demikian.
"Tapi aku masih haus..." keluhku seraya mengusap-usap leher.
Aku menaruh gelas bersih itu kembali ke tempat semula. Ku tutup lemari makan dan bergegas kembali ke kamar.
Tapi, aku munafik. Hati dan otak milikku bersebrangan, hatiku cenderung dominan untuk memintaku bersantai di dipinggiran taman. Akhirnya aku duduk di tepi lorong, kaki ini berayun seirama dengan nyanyian asal yang kubuat.
"Bagaimana ya rasanya tinggal di kota besar? Pasti nikmat sekali. Tapi, aku tidak bisa bohong kalau tinggal di gunung tak kalah nikmatnya," aku mulai bermonolog.
Aku bersenandung kecil sambil memejamkan mata. Udara semakin dingin, memang ya, musim salju itu menyeramkan sekaligus menyenangkan. Indah di mata.
"Cahaya itu lagi ya? Kenapa sih dia selalu mengikuti?!" Aku mulai kesal, tadi dia ada di taman belakang, sekarang di taman depan. Sama-sama di sudut taman pula.
KAMU SEDANG MEMBACA
DURASI JIWA
FantasíaRizu bilang, dunia yang kini ia tinggali jauh lebih indah dibandingkan dengan dunia yang dulu ia tinggali. Kata Rizu, banyak pasang mata beragam jenis, jiwa mereka melayang tak karuan bagaikan kegembiraan. Rizu juga pernah bilang, kalau Matera yang...