Jauh sebelum aku lahir, generasi ketiga dari keluarga kami hampir punah akibat peperangan yang terjadi ribuan tahun silam. Aku masih ingat cerita dari Ibu, jika keluarga Ayah merupakan keluarga terpandang di gunung ini. Bahkan, sebelum keluarga Ayah pindah ke tempat ini, mereka memang sudah dipandang dan dihormati karena telah melakukan sesuatu hal. Aku tidak pernah tau, sejauh dan sehebat apa keluarga Ayah. Setiap kali aku berusaha menggali informasi keluarga Ayah, ibu selalu saja berhasil mengelak dengan halus.
"Ibu, apa aku masih boleh menanyakan hal yang sama?" Sejujurnya, aku takut dan was-was berbicara sepenting ini dengan Ibu. Sebab, Ibu itu bagaikan orang yang ahli dalam bidang hukum, tapi terlihat tidak ahli juga.
Ibu yang sedang memindahkan sayuran ke dalam mangkok sampai menghela napas lelah. Tentu saja, beliau lelah dengan pertanyaan-pertanyaan yang masih saja sama.
"Izumi, aduk perlahan-lahan. Sebentar saja, setelah itu kau boleh pergi untuk pergi ke sekolah." Nah kan betul! Selalu saja begitu.
Aku hanya bisa pasrah. Bagaimanapun juga, perintah Ibu harus aku turuti, terkecuali jika Ibu menyuruhku untuk melompat ke dalam jurang, jelas saja aku tidak mau, pasti aku bantah!
Aku mengaduk olahan bunga dan santan ini sesuai arahan Ibu. Aku merasakan ada yang aneh, maka dari itu Ibu ikut curiga karena melihat kedua alisku yang saling bertautan.
"Ada apa, Izu?" Ibu bertanya dengan wajah lugu. Andai aku tidak ingat usianya, aku pasti sudah mencubit habis pipi Ibu saking gemasnya.
Aku memandang Ibu dengan sorot tanda tanya. "Mereka berdua belum bangun?"
Sekejap mata Ibu tertawa. Dia memukuliku beberapa kali akibat tidak tahan dengan gelitik di perutnya.
"Astaga, Izu... Ibu pikir kau sedang memikirkan hal berat, rupanya tentang adik-adik mu!" Ibu terbahak-bahak, aku dengan sigap menahan lengan Ibu karena tidak seimbang karena terlalu bersemangat tertawa.
Ibu mengusap sudut-sudut matanya, sambil menjawab pertanyaanku, "Mereka sedang menjemur pakaian di halaman depan. Saat kau mandi tadi, Ibu menyuruh mereka."
Lantas aku mengangguk paham. Aku menatap girang pada masakan yang berhasil aku buat, yah meskipun masih diarahkan oleh Ibu. Mataku berbinar riang, sebab masakan ini sudah matang dan layak untuk berpindah tempat.
Aku menerima mangkuk ukuran besar yang diperkirakan sanggup menampung hidangan lezat ini. Aku menuangnya dengan hati-hati, mulutku sudah gatal ingin mencicipi kelezatan tiap sendoknya.
"Kau mulai pandai memasak, Izu," puji Ibu.
Aku tersenyum bangga. "Berkat Ibu juga!"
Ibu menyelipkan anak rambutku yang berjatuhan ke belakang telinga.
"Izumi," Ibu memanggilku.
"Iya, Ibu?"
Senyum Ibu sedikit pudar. "Apa kau sangat ingin mengetahui keluarga Ayah? Terutama permasalahan generasi tiga dari keluarga Ayah." Selain masakan ini, tawaran rahasia Ibu sangat menggugah selera.
Aku membalas tawarannya. "Tentu saja, Ibu. Tapi, jika memang Ibu belum siap, mau bagaimana lagi? Seperti yang sudah-sudah kan?"
Terlihat wajah Ibu yang murung begitu aku selesai berbicara. Dia seperti tidak enak kepadaku karena menyembunyikan rahasia besar dari anak pertamanya. Wajah Ibu mudah terbaca olehku, dia teramat bimbang ingin membicarakan hal ini atau tidak.
Aku mengusap hangat kedua pipi Ibu. "Ibu, jangan membuatku sedih. Hari ini aku harus ke sekolah, jika Ibu menangis bisa-bisa aku absen demi membahagiakan Ibu."
Ibu benar-benar meneteskan air matanya. Sepertinya teramat sedih bila mengungkap kisah yang ditutup rapat-rapat, kilas balik yang aku duga cukup memilukan. Aku memeluk Ibu, mengusap-usap punggungnya, harap-harap dengan begini Ibu bisa tenang dan tidak menangis lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
DURASI JIWA
FantasyRizu bilang, dunia yang kini ia tinggali jauh lebih indah dibandingkan dengan dunia yang dulu ia tinggali. Kata Rizu, banyak pasang mata beragam jenis, jiwa mereka melayang tak karuan bagaikan kegembiraan. Rizu juga pernah bilang, kalau Matera yang...