"Mas, apakah aku boleh keluar untuk belanja?" tapi izinku tidak di tanggapi oleh suamiku, jika sudah seperti itu biasanya ia sedang emosi, karena tidak ingin di marahi lagi oleh suamiku, aku pun bergegas menuju kekamar kami untuk melihat anak suamiku, Nini.
Benar, aku dinikahi seorang duda anak satu.
Tok tok tok.
"Bupa masuk, Nini" ucapku pelan, takut-takut jika Nini masih tidur.
Aku pun segera melenggang masuk kedalam kamar, dan langsung di suguhkan oleh Nini yang masih tidur dengan nyenyak di atas kasur.
Dengan perlahan aku berjalan menuju kasur kemudian duduk di sisi kasur, bertepatan dengan pintu kamar yang terbuka. Otomatis kepalaku langsung menoleh ke arah pintu, disana suami tengah berdiri sembari membawa kunci motor.
"Cepat!" titahnya yang tidak aku mengerti, walaupun aku sudah menikah dengannya selama 18 bulan, terkadang aku masih belum paham dengan kata-kata yang keluar dari mulut pedasnya itu.
"Kau ingin belanja bukan" tanyanya dingin, sepersekian detik berikutnya aku langsung paham.
"Iya, tapi bagaimana dengan Nini" ujarku sembari mengelus rambut omega kecil ini. Sejenak ia melihat anaknya yang sedang tertidur dengan posisi tubuh yang aneh.
"Biarkan saja ia tidur" tanpa sepatah kata lagi, suamiku langsung pergi meninggalkan kamar kami.
Tidak ingin membuat suamiku marah akibat menunggu lama, aku segera mengambil dompet usangku kemudian keluar menuju keberadaan Mas El, suamiku.
Dapat ku lihat ia sedang memanasi motor satu-satunya yang kami punya, aku menunggu sejenak di samping motor sebelum Mas El berkata..
"Naik"
Aku segera naik, kemudian kami pun menuju pasar terdekat. Tanpa ku duga Mas El menarik tanganku yang semula berada di pahanya menuju perut delapan kotaknya yang tengah di lapisi kaos bewarna pudar itu.
Tentu saja aku terkejut, jarang-jarang Mas El berperilaku seperti itu. Sangat romantis bukan?. Ck, alay sekali diriku ini.
Tapi di tambah dengan suasana pedesaan yang menyejukkan setiap mata yang melihatnya membuat kami seperti pasangan yang romantis dan harmonis.
Hingga tanpa aku sadari kami sudah sampai di sebuah pasar yang bernama 'pasar singgah'. Kata orang-orang nama itu muncul setelah pasar itu merubah rubah tempatnya, bukan berpindah desa, tapi berpindah tempatnya.
Seperti hari ini, pasar ini berada di Utara desa, berbeda dengan kemarin yang berada di Timur desa.
Aku dan suamiku segera turun dari motor bebek kami, kemudian aku mendahului suamiku dengan berjalan di depannya.
"Mas, hari ini ingin makan apa?" kataku tanpa menoleh kebelakang karena sibuk mencari pedagang yang menjual barang yang aku butuhkan.
"Terserah"
Dengan luwes aku segera memilih-milih sayuran dan lauk yang akan aku olah hari ini dengan menyesuaikan uang yang ku punya. Karena uang bulananku sedang menipis dan Mas El pun belum gajian dari pekerjaannya yang menjadi satpam perusahaan di kota.
Setelah selesai memilih barang yang kubutuhkan, kami pun segera pulang, takut-takut jika Nini sudah terbangun.
Dan benar saja, sesampainya di rumah kami di suguhkan dengan tangisan Nini yang menggelegar, aku segera memberikan kantong belanjaanku kepada Mas El dan segera masuk ke dalam rumah untuk menuju ke sumber tangisan itu berasal.
Dapat ku lihat wajah Nini sudah memerah, mungkin ia sudah lama menangis, seketika rasa bersalah muncul di hatiku.
Aku segera menimangnya dan membuka bajuku untuk menyusuinya.
Perlahan ia mulai tenang.
"Maaf Bupa dan Daddy ya nak" pintaku sembari mengusap air mata yang berada di pipi gembil anakku.
"Nini sudah tenang?" tanya Mas El yang entah sejak kapan berada di dalam kamar kami.
"Sudah, Mas"
.
.
.Vote kalian berharga untuk setiap penulis