Bab 2. Seminggu Di Pondok Mertua Indah

77 18 3
                                    

Seminggu sudah tinggal bersama sang suami, sedikit banyak Tara sudah memahami keadaan di rumah mertuanya. Dia juga sudah mulai tahu sifat-sifat dari orang tua dan saudara suaminya. Mulai dari mamah mertuanya yang memiliki tingkat cerewet di atas rata-rata, lalu ada adik ipar yang sering membanding-bandingkan keadaan di rumah sendiri dan di rumah tetangga. Sedangkan ayah mertuanya termasuk orang yang jarang bicara, hanya saja memiliki hobi memancing ikan yang lumayan akut.

Tara tidak mempermasalahkan semua itu selama hal itu tidak merugikan dirinya secara materil maupun moril.

Suatu pagi di hari Minggu yang cerah. Suara-suara bising mulai terdengar ke dalam kamar pengantin. Suara sutil yang beradu dengan wajan serta suara cempreng adik iparnya yang tengah beberes. Entah mereka sengaja atau memang sudah kebiasaan seperti itu, Tara pun tidak tahu.

Budi beberapa kali menoleh pada istrinya yan masih bergelung dalam selimut, suara helaan napas terdengar berat. Ingin berkata, tapi suara seperti tersangkut di kerongkongan.

"Dek, sudah jam delapan. Kamu tidak ada niatan keluar kamar dan membuatkan abang secangkir kopi?" Tara menggeliat malas, hendak menjawab namun segera urung karena teringat jika berada di kediaman mertua. Selama ini jika hari Minggu tiba dia bisa bermalas-malasan sampai siang. Dan, kedua orang tuanya tidak pernah sekali pun protes.

"Sebentar lagi, Bang. Adek masih pengin selimutan," Budi menatap istrinya tidak percaya.

"Biasanga kamu selalu bangunin abang subuh-subuh. Nyuruh shalat, olah raga pagi bahkan membereskan tempat tidur sendiri. Sekarang malah kamu, Dek, yang harus abang bangunkan setiap pagi." Budi berujar seraya bangkit dari tempat tidur. Perlahan melangkah menuju pintu kamar. "Ya sudah, abang buat kopi sendiri saja." Sambungnya sambil melanjutkan langkah menuju keluar kamar.

Tara terdiam cukup lama memikirkan perkataan suaminya. Selama berpacaran memang dirinya selalu membangunkan budi lewat panggilan telepon, nyaris setiap hari. Tapi, semua itu dia lakukan sambil meringkuk di dalam selimut.

Tara mengembuskan napas lelah, bersikap baik dan terlalu perhatian saat pacaran ternyata menjadi sebuah beban bagi dirinya sekarang. Apa yang harus dia lakukan?

Jarum jam di dinding mengarah ke angka sembilan, Tara menyibak selimut dan turun dari pembaringan dengan rasa malas yang tak juga hilang.

"Huh. Ternyata ini yang disebut dunia nyata sama si Temi. Gue emang gak bisa lagi pura-pura baik dan rajin seperti masa-masa pacaran sama bang Budi dulu." Tara mengoceh sendirian sambil mengacak rambut panjangnya.

Tiba-tiba pintu kamar terbuka lebar, sosok sang suami pun tampak berdiri sambil menatap dirinya. "Kamu sudah bangun? Cepatlah mandi dan sarapan, ini sudah siang." Nada suara Budi terdengar datar ditelinga Tara. Sontak hal itu membuatnya termenung beberapa saat.

'Kenapa bang Budi seperti acuh begitu?' Batin Tara sambil melirik takut-takut ke arah Budi.

"Malah bengong. Cepatlah mandi."

"I-iya, Bang. Ini juga mau mandi." Budi memerhatikan istrinya yang memasuki kamar mandi. Batinnya terus berperang, memikirkan sikap Tara yang sekarang dan Tara yang sebelum dia nikahi.

"Sudah seminggu tinggal di sini, sikapnya masih saja begitu." Gumam Budi sembari menggeleng.

Budi meninggalkan kamar dan kembali berkumpul bersama anggota keluarganya yang lain di teras rumah. Berbincang santai sambil menikmati camilan yang disediakan mamahnya.

"Bud, si Tara itu kenapa? Kemarin-kemarin pas pacaran sama kamu rajinnya bukan maen, sekarang kenapa jadi begitu, ya?" Budi menggaruk kepala yang tidak gatal mendengar pertanyaan dari mamahnya.

Budi pun berpikir cepat demi mendapatkan jawaban yang tepat.

"Maklumin aja, Mah, Tara sama Budi kan baru nikah seminggu lebih he he he,"

Mamah Budi tersenyum tipis. "Hm, iya-ya, semoga nanti dia kembali seperti kemarin-kemarin itu." Pungkasnya. Budi dan ayahnya mengangguk tanda setuju.
Tanpa mereka sadari Tara tengah berdiri sambil menguping pembicaraan ketiganya. Tara menjadi salah tingkah dan juga bingung, lagi-lagi karena sikap jaga image semasa pacaran yang membuatnya merasa terjebak.

"Ampun dah, gue musti ngapain kalau sudah begini?" Tara menepuk jidat sendiri. "Nyesel udah pura-pura rajin dan baik sama keluarga bang Budi, sekarang baru terasa akibatnya."

Tara menghampiri suami dan mertuanya, menyapa untuk sekedar menutupi rasa malu dan segan yang tiba-tiba datang menghampiri tanpa permisi.

"Pagi, Bang, Mah, Yah." Tara menjatuhkan bokong di kursi yang bersebalahan dengan suaminya.

"Ini sudah hampir jam sepuluh, Dek, seharunya ucapkan selamat siang, bukan selamat pagi." Kata Budi sambil tersenyum pada istrinya. Tara mendelik mendengarnya. Kenapa suaminya malah berkata seperti itu? Membuatnya semakin merasa malu.

"O iya, Tara, kamu 'kan sudah seminggu di sini, jangan lah malu-malu lagi, kalau mau apa-apa tidak usah sungkan. Seperti biasanya saja. Masa sudah sah jadi menantu malah jadi pemalu seperti itu, dulu waktu pacaran sama Budi 'kan tidak seperti itu." Tara nyaris tersedak mendengar omongan mamah mertuanya.

"He he he ... i-iya, Mah. Em ... Tara minta maaf karena selama seminggu ini jarang bantuin pekerjaan Mamah di rumah," mamah Budi tersenyum lebar mendengar jawaban dari menantunya.

"Iya, tidak apa-apa. Mamah juga maklum kalau selama seminggu ini kamu tidak bantuin apa-apa. Tapi ke depannya mamah harap kamu mau mengurus suamimu itu. Dia 'kan bekerja, berangkatnya pagi. Siapkan bajunya, sarapannya atau apalah gitu."

"I-iya, Mah. Nanti Tara yang akan siapkan semuanya," bibir tersenyum, hati menggerutu. Itulah yang Tara lakukan saat ini.

Setelah Berumah TanggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang