Bab 4. Gara-gara BB

60 20 12
                                    

Novelnya udah PO, ya, Gaes, ya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Novelnya udah PO, ya, Gaes, ya. Yang berminat sama novel cetaknya, bisa chat aku langsung di nomor 081281194744

Hampir setengah tahun tinggal di rumah mertua, kondisi tubuh Tara berubah total. Semasa gadis dia sangat terkenal karena memiliki tubuh yang proforsional, dan sekarang, berat badannya meningkat dua kali lipat.

Ada perasaan khawatir jika mengingat semasa pacaran Budi yang selalu memuji dirinya sebagai perempuan yang pandai menjaga tubuh. Tara berpikir keras bagaimana caranya untuk menurunkan berat badan yang meningkat pesat.

"Jangan sampai Bang Budi nanti berpaling sama wanita-wanita seksi di luar sana." Tara masih menatap pantulan tubuhnya di cermin. Di lihat dari depan, samping kiri dan kanan pun tetap saja lemak-lemak tampak bergelayut manja di perut dan tangan bagian atasnya yang terlihat sangat jelas.

Tengah fokus memegang lipatan di perut, tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu kamar.

"Ya?"

"Ini Salsa, Kak. Boleh masuk tak?" Tara bergegas merapikan pakaian sebelum menyilakan adik iparnya masuk.

"Iya, masuk saja." Tara duduk di kursi depan cermin meja rias, sekilas tampak pantulan pipinya yang semakin cubby.

"Kakak sedang apa?" Salsa menerobos masuk dan langsung duduk di pinggiran ranjang.

Tara tersenyum tipis sambil menatap adik iparnya. "Tidak ada, hanya duduk-duduk saja sambil main ponsel," tangannya meraih ponsel yang ada di meja rias. Salsa mengangguk paham.

"Kak, badannya semakin berisi ya? Apa jangan-jangan?"

Tara tampak bingung mendengar ucapan adik iparnya. "Jangan-jangan apa, Sal?"

Salsa memutar bola mata malas. "Jangan-jnagan perut Kakak berisi,"
Tara tertawa nyaring mendengarnya.

"Yap, kamu betul banget, perut kakak memang berisi, berisi makanan dan banyak camilan." Katanya dengan wajah kesal.

"Hah? Bukan bayi ya, Kak?"

"Kamu ini, kakak ini gemuk, bukan sedang hamil."

"Salsa mendengar gosip dari ibu-ibu rempong kalau Kakak sedang hamil, soalnya kata mereka tubuh Kakak semakin berisi."

"Sudah lah, tak perlu dengar apa kata ibu-ibu. Dengarkan kata kakak saja, kakak belum hamil, kamu doakan saja biar di perut ini segera terisi calon keponakanmu,"

"Aamiin. Salsa juga selalu berdoa, Kak. Semoga nanyi dapat keponakan kembar." Salsa mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi.

"Apa dikeluarga ini ada keturunan kembar?"

"Tidak ada, Kak. Tidak salah bukan jika kita berharap?"

"Hem ... iyalah, terserah kamu, asal kamu senang saja, Sal." Salsa nyengir mendengar ucapan iparnya.

"Sebaiknya Kakak jangan ngeram terus di kamar kalau tidak mau semakin gendut, sesekali keluar pagi dan olah raga. Kalau tak mau capek kan bisa jalan santai keliling kompleks, Kak." Mendengar saran dari Salsa, Tara tampak semringah.

"Yes! Kamu memang benar, Sal. Kakak harus berolah raga biar tidak semakin gendut," Salsa mengacungkan kedua jempol tangannya.

"Tapi, kakak malas kalau sampai nanti bertemu sama ibu-ibu itu." Binar bahagia yang semula terpancar dari wajah Tara, tiba-tiba memudar dan berganti lesu.

"Alah Kakak ini, orang-orang seperti mereka itu tidak perlu di anggap. Abaikan saja."

"Besok temani kakak jogging ya?"

"Baiklah. Besok Salsa temani. Tapi ingat, Salsa cuma bisa nemani pas hari Minggu dan tanggal-tanggal merah saja." Setelah melakukan kesepakatan bersama adik iparnya, Tara kembali merebahkan tubub di kasur sambil memakan camilan. Sedangkan Salsa memilih keluar dari kamar itu dan kembali bermalas-malasan di depan televisi.

***

Seperti yang sudah Tara dan Salsa sepakati, keesokan harinya mereka berdua sudah keluar dari rumah pagi-pagi sekali.
Tara berlari-lari santai, sedangkan Salsa memilih mengayuh sepeda.

"Sal, kamu kok pake sepeda?"

"Lagi pengen aja, Kak,"

Satu putaran pertama mengelilingi kompleks, Tara tidak bertemu siapa pun karena masih sangat pagi. Akan tetapi, di putaran yang kedua satu persatu ibu-ibu mulai keluar dari rumah. Kebanyakan dari mereka membawa anaknya jalan-jalan sembari mencegat penjual sayuran.

"Eh, Tara. Wah semakin berisi saja. Jangan-jangan sudah ada isi ya?" Celetuk seorang ibu yang kebetulan Tara lewati.

"Alhamdulillah, Bu," singkat padat. Tara enggan menjawab panjang lebar. Karena pada akhirnya apa pun jawabannya, semua akan melintir plus jadi semakin panjang kali lebar.

"Salsa! Kakak iparmu itu hamil muda ya? Kok malah lari-larian seperti itu sih?" Salsa hanya tersenyum mendengar teriakan tetangganya tanpa ada niatan untuk menjawab.

"Banyak-banyak istigfar, Kak. Karena memang sudah kodratnya mereka begitu."

"Kalau kodrat mereka begitu, berarti kita nantinya ..."

"Ya amit-amit, masa iya punya cita-cita jadi tukang ghibah sama tukang ngerempongin hidup orang." Salsa terlihat cemberut. Sedangkan Tara tertawa terpingkal melihat reaksi adik iparnya.

"Lihat, Kak. Rumah pojok itu bagus banget. Andai rumah kita begitu, pasti seneng ya?"

"Hus, kamu ini. Banyak-banyak bersyukur, Sal, rumah yang kita tempati sekarang, adalah rumah impian sebagian orang di luaran sana,"

"Ah yang benar saja? Rumah kita itu paling sederhana Kakak."

"Sederhana bentuknya, tapi keluarga kita adem ayem, gak semua orang seperti itu loh, Sal,"

"Begitu ya? Iya juga sih. Mamah sama ayah kan orangnya jarang rusuh. Walau pun mamah bawelnya udah melewati batas, tapi ayah selalu bisa meredamnya tuh."

"Biasanya diredam pake apa, Sal?"

"Duit lah. Apalgi coba?" Tara manggut-manggut. Dia sangat paham apa yang dikatakan oleh Salsa barusan. Karena dirinya pun sudah merasakan, jika sedang marah atau kesal, semua itu akan hilang jika sudah mendapatkan lembaran-lembaran merah dari suaminya.

Setelah Berumah TanggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang