Bab 3. Kapan ...

57 19 4
                                    

Kapan punya anak? Kapan kalian bangun rumah sendiri? Dan masih banyak kapan-kapan yang entah sampai kapan akan terus menjadi pertanyaan yang sering menjadi momok bagi sebagian pasangan suami istri, termasuk Tara dan Budi.
Menikah baru seumur jagung, tapi desas-desus sudah menyebar se-kompleks. Awal-awal menikah digosipkan karena hamil duluan, sekarang muncul gosip terbaru menerpa pasangan suami istri itu.
Ibu-ibu kompleks mulai menanyai Tara dan juga mamah mertuanya perihal Tara yang belum juga hamil.
Padahal, kehamilan mutlak anugrah dari Tuhan, dan tidak bisa diprediksi oleh siapa pun kapan seseorang akan memperolehnya.

"Bang, Adek pusing dengar omongan ibu-ibu itu. Masa setiap kali belanja sayuran selalu saja ditanyain kapan kamu hamil? Capek dengarnya, Bang." Keluh Tara pada suaminya ketika mereka berdua tengah duduk santai sambil menonton televisi.

"Jangan di dengar, Dek, yang ada kamu bakal stres."

"Elah, Bang. Jawabannya gitu doang." Tara berang karena suaminya terlihat biasa saja mendengar keluhan dirinya. Padahal Tara sangat berharap jika Budi akan marah dan membela dirinya di hadapan ibu-ibu kompleks.

Budi menoleh dan menatap istrinya lekat. "Abang harus menjawab bagaimana?"

"Terserah Abang saja. Adek pusing, Bang, pusing." Tara beranjak dan meninggalkan suaminya yang masih duduk bengong.

"Salahku dimana, Dek?" Teriak Budi begitu melihat istrinya pergi menjauh.

"Salahnya Abang itu karena membantah ucapan perempuan." Bukan Tara yang menjawab, tapi malah Salsa adik Budi sendiri.

Budi melemparkan bantal kursi yang semula dipeluknya ke arah sang adik. "Anak kecil jangan sok tahu!"

"Bukan aku sok tahu, Bang. Asal Abang tahu saja, perepmuan itu paling benci kalau kata-katanya dibantah, dan keluhannya di sepelekan."

"Ribet sekali kalian." Budi kembali gokus pada layar televisi, sebisa mungkin mengabaikan adik beserta ocehannya.

"Bukan ribet, Bang. Asal Abang tahu, perempuan itu selalu benar. Ingat itu, perempuan selalu benar, jadi jangan pernah bantah atau mengabaikannya, ok." Salsa mengangkat sebelah tangan dengan jari telunjuk dan jempol membentuk huruf O.

"Sekarang abang yang pusing dengar omonganmu, Sal." Budi akhirnya beranjak dan meninggalkan Salsa seorang diri.

"Lah, kenapa kalian pada pergi? Halo ... kenapa kalian pergi ke kamar?" Salsa terus berteriak karena kakak dan kakak iparnya malah masuk kamar.

Budi mengedikan bahu mendengar Salsa yang berteriak. Dia sangat tahu jika adiknya hanya bercanda saja. Lagi pula, pikirannya tengah fokus pada sosok Tara yang tengah ngambek. Budi khawatir bukan main jika kemarahan istrinya tidak segera reda. Bisa-bisa semalaman suntuk hanya bisa memeluk guling.
Budi berjalan mendekati istrinya yang tengah main ponsel sambil bersandar. "Dek, kamu marah ya?"
Tidak ada respons apa pun dari Tara, wanita itu seolah tidak mendengar dan tidak melihat keberadaan suaminya.

"Dek?" Tara meletakan ponsel lalu menoleh pada suaminya.

"Mau apa?" Budi merengut mendengar nada suara istrinya yang sangat ketus.

"Tidak apa-apa, Dek. Tadi, kenapa kamu masuk kamar duluan? Abang jadi gak ada teman nonton."

"Bukannya ada Salsa?"

"Sama Salsa kan tidak bisa sambil pelukan, Dek. Maunya abang itu nonton sama Adek."

"Malas ah Bang. Adek ngantuk." Tara memutar tubuh dan membelakangi Budi. Mengambil guling dan langsung memeluknya. Budi membuang napas kasar melihat istrinya lebih memilih guling dari pada dirinya.

"Nasib, bisa-bisa kedinginan sepanjang malam." Gumam Budi.
Batu saja tubuhnya menyentuh kasur, tiba-tiba Tara berbalik dengan wajah yang terlihat sangat murka.

"Bang, apa Abang gak sakit hati mendengar omongan tetangga sama Adek?" Budi menarik napas panjang, pikirannya mendadak buntu.

"Dek, istri abang yang cantik, tentu abang sakit hati jika mendengar orang berkata tidak baik tentang Adek, apalagi jika sampai terluka,"

"Lalu, kenapa respons Abang biasa saja waktu adek cerita kalau ibu-ibu itu sudah membuat adek tersinggung?"

'Aduh, mati aku' Budi mendengus dalam hati karena bingung harus memberikan jawaban apa pada istrinya.

"Dek, dari pada mendengarkan ocehan ibu-ibu di luar sana, bukan kah lebih baik kalau kita lebih giat lagi membuat calon penerus?"

"Maksud Abang?"

"Biar bisa lebih cepat dapat momongan, bukan kah lebih baik kalau kita sering-sering membuatnya?"

"Itu sih maunya Abang."

"Tapi kamu juga mau kan?!" Wajah Tara seketika memerah. Bukan karena marah, tapi karena malu.

"Yuk, Dek." Budi menarik pinggang Tara supaya tubuh mereka merapat. Tara tidak menolak, maupun menyambut keinginan suaminya.
Perasaan marah yang sempat hinggap berganti dengan rasa malu.

"Pelan-pelan dong, Bang. Jangan gerasak-gerusuk, nanti Salsa dengar."

"Salsa gak bakalan dengar, suara teve kencang begitu." Pada akhirnya Tara pasrah dan mengikuti inginnya sang suami.

Setelah Berumah TanggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang