MERAH.

145 14 0
                                    

"Orang bodoh tidak mudah sakit, apalagi mati"

Seorang mahasiswi tingkat akhir masih mematung di tengah hujan deras. Iris cokelat membelalak lebar. Tak percaya peristiwa naas terjadi pada laki-laki konyol yang ia sukai.

"Shoko, ayo pulang"

Suara parau penuh sesal tersamarkan gelegar langit. Tangis yang menyapu pipi berkamuflase dalam rintik hujan.

"Kenapa?!" rintihnya. Pilu mendera hati. Mengoyak dalam dan semakin dalam.

"Shoko.."

"Kenapa Gojo harus mati?" bibirnya bergetar. Belum rela menerima kenyataan nan pahit di depan mata.

Laki-laki bernama Geto Suguru tak menjawab. Sedari tadi, dia memandangi perempuan tersayangnya menangis. Bukan tak sedih atas kematian salah satu sahabatnya, tapi pikirannya kini tertuju pada Shoko seorang. Tak mau satu-satunya sahabat yang tersisa terperosok jatuh ke lubang kepedihan.

"Aku belum minta maaf"

"Begitupun aku"

"Kau tidak mengerti perasaanku!"

Aku bahkan belum sempat menyatakannya. Setidaknya aku ingin Gojo tau.

Suguru tertegun. Ucapan Ieiri Shoko sungguh menampar. Firasatnya benar. Alasan gadis itu tak mau menoleh padanya terjawab sudah. Sejak dulu Shoko memang mencintai Gojo Satoru.

"Andai aku bisa mengulang waktu untuk tidak membohonginya. Gojo tidak akan terlibat dalam kecelakaan kereta"

Sesal tiada henti. Semua keisengan mereka berbuah petaka. Teramat parah sampai-sampai membuat Satoru kehilangan nyawa.

Suguru mendekat. Tangan kasar bukti kerja keras menepuk pundak Shoko. Berupaya menguatkan walau kelihatannya mustahil.

"Aku yang akan bertanggung jawab atas ini" Suguru menghapus rasa bersalah Shoko, "aku yang waktu itu mengirimkan pesan itu pada Satoru"

Desah napas Shoko terjeda, "apa yang akan kau perbuat?"

"Entahlah" Suguru memalingkan muka. Kepalanya mendongak menatap langit yang menyurutkan intensitas hujan, "tapi aku akan berusaha"

"Hentikan omong kosongmu, Geto. Usaha tanpa rencana adalah sia-sia"

Shoko memang tidak pandai, tapi dia cerdas. Kata-katanya pun lugas. Dan seluruh informasi yang ia dengar selalu berhasil diterima atau ditolaknya mentah-mentah. Seperti yang terjadi sekarang, Shoko menyangkal besar-besaran perkataan mustahil Suguru.

"Aku juga ingin bicara dengannya sekali lagi" bibir bawah sengaja digigit Suguru. Rasa sesalnya tak kalah besar.

Setidaknya aku ingin meminta maaf dan menunjukkan pada Satoru tau bahwa kau mencintainya.

"Setidaknya aku ingin memukul wajahnya dan mengatakan jangan pernah pergi jauh dari kita" ucap Suguru menanggapi. Sekedar memberi kelegaan pada Shoko.

Mengatur napas, Shoko mulai bangkit. Tidak ada untungnya mematung lama-lama. Dirinya pun tak tega mendengar kalimat-kalimat melantur dari Suguru akibat kehilangan satu sohib mereka.

"Ikou, Geto. Hujannya sudah reda"

Senyum simpul terpatri pada bibir Suguru. Lengan panjang merangkul Shoko, memapah keluar area pemakaman. Meninggalkan sedih dan kenangan buruk yang baru saja terjadi.

TAP. TAP. TAP. Langkah Shoko tertatih. Benar saja, di tengah perjalanan tubuhnya terhuyung. Hujan seolah melemahkannya. Membuatnya tak sadarkan diri akibat syok berlebih.

"Shoko!"

Geligi Suguru bergemeretak. Cukup. Cukup Satoru yang pergi. Jangan Shoko juga.

Sembari membopong Shoko, Suguru mencari transportasi umum. Membiarkan sepedanya tergeletak sembarangan di tempat parkir. Mengutamakan keselamatan Shoko adalah yang paling penting.

Gawat, Shoko demam.

Dengan telaten, Suguru menggendong Shoko turun dari taksi. Merebahkan di atas tempat tidur dan mengompres kening. Melakukan pijat pada titik saraf tertentu demi mengembalikan kesadaran Shoko.

Manik cokelat mengerjap. Meski telah terpejam lumayan lama, nyatanya otak masih bekerja dalam performa terbaik. Tak sedikitpun melupakan memori tentang peliknya kehilangan.

"Gojo.."

Suguru terperanjat. Bahkan setelah hilang kesadaran, Shoko tetap mengecap nama Satoru. Apa memang tak ada sedikitpun terbersit dirinya di mata si gadis?

"Shoko, aku di sini"

"Geto?" Shoko membulatkan mata. Memastikan kembali sosok di depannya.

"Sudah mendingan?"

Seraya menangkupkan selimut, Shoko membelakangi Suguru, "tinggalkan aku sendiri"

Suguru mengangguk. Paham dengan kepribadian Shoko yang sulit diatur. Ia kemudian menuju ruang berbeda.

Tangan Suguru mengepal memukul tembok. Rupanya tak hanya Shoko. Dia pun menderita pesakitan batin akibat kematian kawan yang sudah dianggap seperti saudara.

Satoru, kenapa kau pergi duluan?!

Baru pagi ini mereka bicara via telepon. Sebuah percakapan yang tanpa mereka tau menjadi panggilan terakhir. Sebuah kebohongan picik buah rencana mereka agar Satoru kembali secepat mungkin.

Hingga matahari hampir bersinar tepat di atas kepala, kabar buruk mengudara. Sebuah kecelakaan kereta terjadi di jalur yang ditempuh Gojo Satoru.

Rencana keduanya gagal. Justru Satoru lah yang mengejutkan mereka duluan. Teridentifikasi sebagai korban nomor satu dalam musibah ledakan sebuah gerbong.

Tak ada pesta. Tak ada gelak tawa. Hanya tetes air mata yang terus mengalir kala Suguru mendapat kehormatan membasuh jenazah Satoru.

Chikuzo!

Histeris, Suguru membasuh sela-sela jari. Bayangan bercak merah masih membekas di ingatan. Darah segar Satoru samar-samar terlihat. Belum kering. Sebab keluarga Gojo bersikeras membawa jenazah Satoru usai evakuasi.

Tangan Suguru tak kuasa menggenggam. Di awal hari tangannya memegang ponsel demi mengerjai. Namun ironi, siangnya justru menyentuh tubuh sohibnya yang terbujur kaku.

Netranya tak berkedip memandangi kalender hari itu. Ada sebuah lingkaran merah dibubuhkan. Dirinya ingat, Satoru lah yang membuat tanda itu. Ya, setengah tahun lalu saat mereka masih tinggal bersama.

"Biarpun aku pergi, kalian harus mengingat hari ini! Ucapkan selamat dan kirimi aku hadiah!"

Air meleleh di kelopak Suguru. Ternyata kepergian yang dimaksud adalah meninggalkannya dan Shoko berdua. Ya, pergi dan tak pernah kembali.

"Otanjoubi.. omedetou" tergugu Suguru menggumamkan selamat dengan hati perih.

Gaduh yang ditimbulkan Suguru di ruang tengah tentu mengusik Shoko. Matanya tak mau terpejam. Justru indera pendengarnya makin tajam.

Geto pasti terpukul.

Shoko merasa dirinya jahat sudah menjadi penyebab Suguru, sosok yang dihormatinya, sampai bersedih. Terus memukul-mukul kepala. Memaki kebodohannya, mengapa ide jahil yang diutarakan berbuah pahit.

Tangannya meraih ponsel. Membuka layar pelindung berisi potret mereka bertiga. Di tampilan utamanya terdapat pengingat besar berwarna merah. Sengaja memilih warna paling mencolok agar tidak lupa peringatan hari itu.

Shoko emosi mendapati hari yang begitu pelik. Ia melempar ponsel ke arah sembarang. Berupaya memungkiri semua.

Harusnya hari bertanda merah itu merupakan puncak kebahagiaan mereka bertiga! Tapi harapan itu hanya harapan kosong belaka.

7 Desember. Ulang tahun dan sekaligus hari kematian Gojo Satoru. Kejutan yang seharusnya mereka berikan justru berbalik mengguncang keduanya. Merenggut keberadaan sang sahabat untuk selamanya.

𝐓𝐎𝐆𝐄𝐓𝐇𝐄𝐑 𝐄𝐍𝐃𝐄𝐃 𝐰𝐢𝐭𝐡 𝐘𝐎𝐔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang