II

173 23 0
                                    

Sanji. Salah satu juru masak di resto bernama ‘Baratie’ berniat menyapu bagian teras luar bangunan itu. Namun, betapa terkejutnya ia menemukan seorang lelaki penuh luka dan darah tengah tergeletak lemas di depannya. “Eh? Mayat?” Panik terlihat jelas di wajah yang memang dasarnya sudah pucat itu. Untung, resto sudah sepi sejak turun hujan tadi. Sanji pun mendekati tubuh tak berdaya itu secara perlahan dan penuh gemetar. Ia mengulurkan tangannya dan mencoba merasakan deru nafas dari orang itu. Betapa leganya ia menemukan hembusan angin keluar dari dua lubang kecil iu, orang ini masih hidup.


Hidup?


HIDUP!


"MANG! CARNE! PATTY! AMBULANCE! TELEPON SEKARANG JUGA!"







Seharusnya, setelah mengantarkan orang terluka itu Sanji tinggal menghubungi orang terdekat dari yang terluka itu. Namun, ada hal yang membuat Sanji tidak dapat meninggalkan orang tersebut. Bukan, bukan karena rambut hijau mencolok atau parasnya yang luar biasa menarik perhatiannya. Orang yang terluka itu tidak membawa tanda pengenal identitas sama sekali, yang dia miliki hanya sebuah ponsel yang telah retak di bagian wajah layarnya dan keadaannya terkunci. Selain itu, Sanji merasa mengenal orang itu. Sekali lagi, bukan, bukan karena Sanji yang memang tertarik padanya. Jika ingatannya tidak melenceng, orang dengan penampilan mencolok seperti itu pernah ia temui saat Sanji tengah membagikan makanan gratis di taman kota beberapa bulan lalu. Sanji sudah merasa ada hal yang menjanggal setelah orang itu bertanya lalu terdiam selama memakan hotdognya. Wajahnya memang menyiratkan beribu emosi yang bercampur aduk. Membuat Sanji berpikir orang ini sedang menunggu seseorang membuka tangan untuknya.


"Ngapain?"


Suara rendah mengetuk Sanji dari pikiranya. Di tengah lorong putih yang kosong dan dinginnya rumah sakit, berdiri seorang yang menggunakan setelan seorang dokter, tapi tidak memberikan aura kedokterannya sama sekali. Wajah lelaki itu penuh siratan kesah lelah, matanya menggendong panda yang cukup gelap, dan alis gelapnya yang ia tekuk membuat wajah kesal.

"Aneh banget lu, ga biasanya. Kenapa? Butuh perawat bohai? Kok diem mulu disini? Kaga pulang?"

Pertanyaan yang menarik, karena Sanji juga menanyakan hal yang sama pada dirinya. Kenapa dia tidak ikut pulang dengan yang lain dan menyerahkan orang itu ke teman yang ada di hadapannya sekarang. Administrasi? bagaimana bisa mereka mengurusnya kalau yang dimiliki orang itu hanya sebuah ponsel kentang? Untung ada orang dalem. Langkah yang lebih mudah, kan? Kalau Sanji lempar tangan ke temannya itu? Sanji berdiri untuk menatap orang yang lebih tinggi dengan rambut hitam legam di hadapannya itu, "Gimana kondisinya, Law?" Dikesampingkan pikirannya itu, yang ditanya hanya menatap Sanji sedikit sendu, "Kenal?" tanyanya balik membuat sanji sedikit menarik wajahnya heran, "Jawab dulu, orang nanya mah dijawab malah balik nanya," tegas Sanji sedikit berdering hipokrit, Law hanya bisa memutar matanya lelah "Udah, lancar semua, gua harus buka tailor manusia next time buat ngepermak luka-luka macem begitu," jawaban Law sedikit mengangkat kecemasan pada Sanji.

"Lu kenal dia?" belum menyerah Law bertanya penasaran, "Sampe lu anggurin resto kesayangan lu. Aneh banget…" Gumam Law

"Heh denger, ya, dokter kere! Orang itu udah begitu pas gua temuin. Masa iya gua anggurin, darahnya masih seger nih, belum lagi yang depan Baratie! ini tu sama rasanya nemuin bayi orang depan pintu rumah lu, ngerti kan?"

Secepat kilat Law menjawab, "Enggak." Sebuah jari dijentikan di depan wajahnya, Sanji putus asa. Ia kini mencoba memilah kata-kata yang dapat menjelaskan isi hatinya tanpa terdengar khawatir sama sekali,


Gaham | zosan lokal AuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang