V

149 18 0
                                    

Terik. Mata tersisanya dipicingkan. Sinar surya yang sudah lama tidak ia sapa kini menusuk satu-satunya indera penglihatannya. Paru-parunya dipaksa untuk menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Merasakan kesegaran yang telah lama tak berkunjung ke tubuhnya. Kulitnya diusap halus oleh angin hangat yang juga membelai surainya yang hijau. Zoro merasakan kembali, rasa yang telah lama ia lupakan. "Hayu, Bang," Johnny sedikit menarik tangan kekar Zoro agar segera melangkah menjauhi gedung dingin itu. Zoro sendiri memilih pasrah mengikuti arahan Johnny, masih terpaku dengan tampilan dunia di siang hari yang cerah.




"Maaf, ya, Bang..." Johnny membuka pembicaraan, "kita jalan kaki. padahal si Abang baru pulih. Maaf, ya, Bang."




Zoro tak habis pikir. Apa yang telah ia lakukan hingga mendapatkan perlakuan begitu spesial dari orang yang kini dengan mantap ia anggap sebagai teman dekatnya itu. Tak dapat dipercaya. Apa yang ia lakukan pada mereka di masa lalu dapat memberikan dampak begitu besar bagi mereka, juga baginya sekarang. Yang ia lakukan dulu selalu menjadi hal yang menurutnya paling benar. Karena itu, Zoro tidak pernah merasa budinya harus dibalaskan.




Johnny menyadari atmosfer antaranya dan Zoro yang menjadi canggung. Dia pun berusaha mencari topik pembicaraan. "OH!" Teriakannya berhasil menarik perhatian Zoro. Mata mereka tertuju pada sebuah gedung yang tengah dibanjiri banyak orang. "Jam makan siang, sih, yaa" gumam Johnny, "Dari pertama pindah ke area sini, kepengen banget makan di sono." lanjut Johnny sembari membenarkan kacamata hitamnya, "Gimana makanannya?" tiba-iba ketertarikan Zoro meningkat. Johnny yang menydarinya sedikit sumringah, karena suasana mereka tidak lagi canggung, "Belom pernah, Bang. Moga malam minggu nanti kesampean deh, kita makan bareng, hehe."




"Baratie..." gumam Zoro.




"Katanya, sih, makanannya enak banget. Liat aja, emang biasanya penuh banget begitu, apalagi jam-jam makan siang kek sekarang,"




"Yang masaknya?" Mereka melanjutkan perjalanan mereka, masih dengan mata yang tertuju pada antrean panjang di seberang jalan.




"OH IYA! baru inget..." Kini perhatian Zoro beralih ke Johnny sembari menunggu kelanjutan, "Katanya, juru masaknya kurang enak..."




"MAKSUD LOE??"




Johnny enggan melanjutkan dan malah meminta Zoro untuk melanjutkan perjalanan mereka. Semua gedung pencakar langit telah ia lewati. Toko-toko seperti, toko kue, baju, alat-alat, salon, klinik, segala macam toko telah mereka lalui. Hingga akhirnya, mereka berdiri menghadap sebuah gedung yang di penuhi banyak jendela kecil dengan warna cat yang mulai luntur. Bentuknya lebih mirip rumah susun ketibang sebuah apartemen.



Ya. Gedung itu, akan menjadi tempat tinggal sementara Zoro. Ya, Sementara.




Kini, Zoro berdiri di depan pintu masuk. Tidak terlalu besar, tapi juga tidak terlalu kecil. Untuk dua orang, apartemen ini sudah dinilai cukup memumpuni. Tapi, keberadaannya membuat penilaiannya itu sedikit berubah. Bertambahnya manusia yang datang membuat tempat tinggal itu sedikit terasa sempit. Untungnya, Zoro tidak membawa banyak benda. Karena yang ia miliki sekarang hanya tubuhnya yang penuh bercak luka dan jiwanya yang masih mengawang lintang, masih belum menerima kenyataan bahwa dia akan hidup sebagai masyarakat biasa.




"Maaf, gua ngerepotin kalian..." gumam Zoro, "Gua bakal cepet cari kerja dan... Gua bakal bayar segalanya, makan, baju, ari, tempat tidur... segalanya! Walau belom tau apa yang bakal gua lakuin, tapi gua bakal berusaha sekeras mungkin," Tulang punggungnya ia bungkukan, Zoro membungkuk, memberikan tanda terima kasih dan tanda bantuan.




Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 26, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Gaham | zosan lokal AuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang