Bab 1. Prolog

16 5 1
                                    

17 April 2003,

"Maafkan aku, maafkan aku." Sambil bersujud, Rudi meminta maaf berulang kali.

"Hah? Apa kau tidak punya malu? Aku selalu memberimu waktu untuk membayar utangmu karena dulu kita adalah teman dekat, tapi kau selalu tidak bisa membayarnya dan sekarang kau mau aku memaafkanmu lagi?" tanya Irfan, seorang pria kaya raya yang dulunya adalah teman Rudi.

"Aku minta maaf tuan Irfan, tapi untuk mendapatkan uang makan sehari-hari saja aku sudah kesulitan, aku mohon pengertiannya." ucap Rudi sambil menangis.

"Aku kecewa padamu Rudi, jangan anggap aku temanmu lagi!" tegas Irfan.

"Maafkan aku, maafkan aku." ucap Rudi yang masih tak berhenti meminta maaf.

"Kuberi kau waktu sebulan untuk melunasi utang-utangmu, aku tidak peduli dengan cara apapun kau membayarnya," tegas Irfan.

"Terima kasih ... terima kasih banyak." Rudi langsung memeluk Irfan.

"Jauhkan tubuhmu dariku! Tolol." Irfan mendorong Rudi hingga terjatuh.

Keesokan harinya orang tua itu pun bekerja keras untuk mendapatkan uang, dia berkeliling desa dengan membawa dagangannya, yaitu sayur-sayuran hasil kebun kecilnya.

Setibanya di rumah ia disambut hangat oleh anaknya, Putri. "Ayah, sini istirahat dulu."

Rasa lelah yang dirasakannya itu seakan menghilang ketika disambut oleh anak gadisnya, ia terlihat sangat menyayangi anaknya itu. Putri adalah gadis cantik yang sangat ceria, ia masih berumur 16 tahun saat ini, ibunya meninggal setelah melahirkannya.

Sambil tersenyum Rudi menjawab. "Kamu memang anak yang baik, Nak."

Putri pun menjawab dengan penuh percaya diri. "Jelasss, aku kan anaknya Ayah."

Putri menyajikan makanan di meja dan mereka pun memakannya diiringi canda dan tawa, mereka selalu menjalani hari dengan senyum dan tawa seperti ini, terlepas dari utang-utang sang ayah, mereka terlihat sangat bahagia. Keseharian mereka selalu seperti ini, sang ayah yang bekerja keras di luar untuk menafkahi kebutuhan sehari-hari dan Putri yang mengurus rumah dan kebutuhan hidup mereka berdua.

Beberapa hari kemudian, saat sedang menjemur Putri melihat ayahnya yang duduk di depan pintu rumah sambil merenung.

"Jangan terlalu dipikirin, Yah," ujar Putri.

"Ah maaf, apa wajahku terlihat menyedihkan lagi?" tanya sang ayah tertawa malu.

"Jangan meminta maaf, Yah. Itu bukan salah Ayah, tidak ada salahnya jika Ayah tidak bisa membayar utang ke tuan Irfan, lagian Ayah bekerja juga sambil menafkahiku, pasti sulit kan?" Putri berusaha menasihati ayahnya yang terlihat murung.

"Kamu memang pandai dalam menenangkan pikiran, sama seperti Ibumu," jawab sang ayah.

"Aku akan coba cari pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhan kita," ucap Putri.

"Jangan, Nak. Biar Ayah saja yang bekerja." Sembari mengelus kepala Putri, sang ayah mengatakannya dengan senyuman di wajahnya.

Putri tau ayahnya hanya berpura-pura kuat di hadapannya, tapi Putri kagum dan bangga dengan sikap ayahnya itu.

Sebulan pun berlalu, Irfan akhirnya datang lagi untuk menagih utangnya.

"Kau punya uangnya?" tanya Irfan.

"Aku tidak punya," jawab Rudi.

"Apa maksudmu?" tanya Irfan.

"Maafkan aku, aku tidak memiliki uangnya." Ketika sang ayah menjawab seperti itu, situasi pun memanas.

LOVE?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang