#Day4 May.04.2023
Hari yang berat akhirnya bisa Theo lewati, meski pun harus diisi dengan berbagai macam cacian dan makian.
Pagi itu setelah pulang mencari kayu bakar di hutan, Theo menjalani rutinitas biasa yang dia lakukan di rumah hingga baru selesai lewat tengah hari.
Setelah semua pekerjaan selesai, Theo sekarang sudah bersiap untuk pergi ke perpustakaan dan kebetulan ibu dan saudari tirinya sedang pergi ke daerah selatan untuk berlibur selama beberapa hari.
Theo akhirnya bisa bernapas lega, karena artinya hari-hari Theo akan indah, damai dan tentram.
Langkah Theo terasa ringan saat berjalan sambil sesekali melompat kecil, dia bahkan terkadang bernyanyi untuk mengungkapkan rasa senang yang ia alami sekarang.
Orang-orang yang Theo lewati juga menyapa dengan ramah saat mereka melihat Theo yang tersenyum lebar dan tentunya dibalas Theo dengan lebih ramah lagi.
"Kau mau ke perpustakaan lagi?" tanya seorang nenek yang memang sudah akrab dengan Theo yang mengangguk cepat. Nenek itu tersenyum menatap Theo sambil melakukan pekerjaannya.
"Iya nenek. Sekarang aku bebas untuk pergi ke perpustakaan," jawab Theo yang membuat nenek itu paham, kalau sekarang pasti ibu dan saudari tiri Theo sedang pergi.
"Apa kau tidak lelah? Perpustakaan itu sangat jauh."
"Tidak lelah, karena aku senang," ucap Theo lagi seraya terkekeh lucu diakhir.
"Ehm, nenek sedang apa? Apa itu yang nenek pegang?" tanya Theo kebingungan saat melihat si nenek yang sedang memintal benang di depan rumahnya.
Ada sebuah alat yang nenek itu gunakan. Theo tidak tau apa nama benda bulat itu.
"Owh, maksudnya benang-benang yang baru dipilin ini?" Theo mengangguk sambil terus menatap gerakan tangan si nenek yang terlihat sudah terlatih.
"Kalau itu namanya kelindan. Kelindan adalah benang yang baru dipintal dan nanti akan dimasukkan ke dalam lubang jarum untuk menjahit," jelas nenek itu yang membuat Theo akhirnya mengangguk paham.
"Begitu ya? Theo baru tau," balas Theo sambil memasang senyum polos.
"Ya sudah, kamu hati-hati perginya. Jangan pulang terlalu malam."
"Baik nenek, aku pergi dulu," pamit Theo kemudian melanjutkan langkah kakinya menuju perpustakaan.
Ada alasan kenapa Theo selalu pergi ke perpustakaan. Dia masih ingat, saat dulu ibunya meninggal hampir setiap hari ia menangis. Hingga suatu hari sang ayah membawanya ke perpustakaan yang menurut cerita orang-orang pulau sudah ada di sana sejak ratusan tahun atau bahkan mungkin ribuan tahun lalu, tepatnya tidak ada yang tau kapan bangunan besar yang lebih cocok disebut manor itu berdiri.
Waktu itu Theo baru berusia 5 tahun saat pertama kali dia bertemu dengan seorang yang menjaga perpustakaan.
Pria paruh baya itu menepuk pelan puncak kepala Theo sambil tersenyum sebelum meminta izin pada ayah Theo supaya bisa membawa Theo berkeliling.
Sejak saat itulah Theo akrab dengan paman penjaga yang bernama Ben itu hingga akhirnya Theo diajari cara membaca dan menulis.
Seiring berjalannya waktu, hal itu terus berlanjut sampai Theo sendiri tidak ingat bagaimana ayahnya bisa bertemu dan menikah dengan wanita jelmaan penyihir yang sekarang menjadi ibu tirinya, karena mulai saat itulah kehidupan Theo berubah dan menjadi neraka. Tak lama setelah itu sang ayah pun meninggal, meninggalkan Theo sendiri bersama ibu dan kakak tirinya.
Hari-hari yang dia lalui semuanya bagaikan mimpi buruk. Caci maki disertai dengan kekerasan di tubuhnya sudah biasa Theo terima semenjak sang ayah meninggal.
Kita kembali pada Theo yang baru sampai di perpustakaan, dia langsung berjalan masuk dan menyapa.
"Paman Ben aku datang!" seru Theo membuat semua mata dari orang-orang yang sedang membaca teralih ke arahnya.
"Uff. Maaf," cengir Theo saat dia sadar kalau dia sudah mengganggu konsentrasi dari para pengunjung perpustakaan.
Setelah itu Theo lantas mendapat delikan tajam dari pria tua di seberang, “kau lagi.”
Senyum lebar Theo lemparkan pada penjaga perpustakaan tersebut dan berlalu begitu saja ke dalam lorong rak-rak buku di sana.
Tak jauh-jauh, buku yang dibaca oleh Theo pasti tentang cerita fiksi percintaan. Ia menelaah setiap tulisan judul buku yang terpajang, jari jemari lentiknya menelusuri setiap jengkal buku yang ada di sana.
Karena terlalu fokus pada buku-buku itu tanpa sengaja Theo berjalan terlalu jauh hingga sebuah bahu tak sengaja menabraknya, “awh!”
Tiba-tiba saja tubuh Theo terasa ringan, jiwa itu seperti terlepas dari raga dengan rasa pening mendera kepalanya, hingga tidak mampu untuk dirinya membuka mata sampai pada sebuah cahaya menyorot ke dalam mata Theo.
Silau, mata itu mulai terbuka dengan perlahan. Kedua bola mata itu membola, apa ini? Di mana dia sekarang? Theo benar-benar bingung sekarang.
“Hah? Tempat ini … bukankah ini tempat yang kemarin?” gumamnya menelisik sekeliling dan benar saja.
Bangunan tua yang sedikit gelap bergaya arsitektur abad ke 18 itu membuat Theo takjub untuk kedua kalinya, Theo mulai melangkahkan kakinya menelusuri setiap sisi ruangan tersebut.
“Akhirnya setelah beratus-ratus tahun kita bertemu Theo Madelson,” suara berat itu menyapa gendang telinga Theo hingga membuat lelaki manis itu terlonjak kaget.
“Siapa? Siapa kau!” pekik Theo memundurkan langkah kakinya.
Tak ada jawaban namun hembusan angin terasa kencang menembus jendela besar yang ada di ruangan tersebut membuat suasana di tempat itu terasa semakin mencekam.
Jantung Theo seperti berhenti disaat itu juga, sebuah tangan mencengkram pipinya dengan begitu kuat. “Kau melupakan aku?”
Bukannya merasa takut, Theo justru terlihat jatuh ke dalam tatapan dingin pria yang ada di depannya. “Wow.. wajahmu berkilau seperti Edward Cullen. Apa kau seorang vampir yang akan menjadi takdirku?”
Mendengar ucapan Theo itu membuat kepala Jeff berdengung, seperti kaset yang rusak ingatan masa lalu dan masa depan berputar secara acak dan samar di pikirannya.
“ARGHHh!” teriak Jeff seraya menjauh dari Theo.
“Hei! Ada apa? Apakah kau baik-baik saja?” ucap Theo panik sambil menghampiri pria tersebut.
Jeff jatuh terduduk dengan memegangi kepalanya yang kesakitan hingga sebuah alunan suara seperti menuntunnya untuk kembali pada kesadaran miliknya. “Tuan tampan? Apakah kau baik-baik saja?”
Deru napas Jeff seperti tak beraturan, usapan lembut yang lelaki manis itu berikan padanya membuat Jeff merasa lebih tenang. Tatapan khawatir yang diberikan oleh Theo padanya pun nampak begitu tulus.
“Biar aku bantu bangun? Di mana kamar tuan tampan? Aku akan merawatmu dan aku juga siap untuk kau persunting,” ujar Theo membantu Jeff bangun.
Namun nampaknya Jeff tidak begitu suka dengan Theo, dia terlihat aneh dan apa yang baru saja ia ucapkan tak menggambarkan seseorang yang dulu ia kenal.
"Kau-- bukan dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Subconscious (Hold On)
Fantasy#eventmenulis #50bersamamu #moonseedpublisher Apa yang akan kau lakukan, jika kau memiliki takdir dan kisah cinta yang rumit? Tidak hanya latar belakang kehidupan tapi juga dunia yang berbeda. Namun, bagaimana jika mereka hanya bisa hidup dengan sa...