Jadi anak rantau itu sulit.
Pulang, enggak pulang, tetap mikir❄️❄️❄️
Lelaki dengan kemeja polos yang duduk di balik komputer itu melirik ke arah jam dinding. Kemudian kepalanya menoleh ke jendela dan melihat situasi di depan kantor.
Pasti klaksonnya sahut-sahutan, batin lelaki dengan nama Arkana Ilham pada tanda pengenal yang dijepitkan di saku kirinya.
"Ham, cutinya jadi? Kapan?"
Seseorang yang baru saja melintas di depan meja Ilham berbalik dan berhenti sejenak. Lelaki dengan rambut belah pinggir dan tertata rapi itu berdiri sambil menumpukan sebelah tangannya di meja kerja Ilham.
"Jadi, Bang, tapi tunggu dulu. Masih ada yang belum selesai."
"Nge-bis atau naik kereta?"
"Rencana mau motoran, biar bisa ditinggal di kampung."
Rekan kerjanya yang sudah menemani selama empat tahun itu membuka mulutnya lebar mendengar ucapan lelaki seperempat abad itu.
"Lo naik kereta aja. Ntar di kampung kreditin motor lewat cabang kita di sana."
Perusahaan tempat Ilham bekerja memang bergerak di bidang perbankan, tetapi juga membuka beberapa anak cabang yang memperjual-belikan kendaraan bermotor dengan sistem kredit.
"Kenapa nggak pesawat aja? Jember kan wes punya bandara juga," ujar sosok di sebelah meja kerja Ilham.
Lelaki yang menjadi pusat perhatian itu langsung menggeleng dengan cepat. Ia sangat tidak bisa membayangkan selama berjam-jam melayang di udara. Jangankan itu, untuk bisa terbiasa melihat halaman kantor dari jendela ruangannya saja ia butuh satu tahun sampai bisa dan terbiasa.
Ilham memilih membuka ponsel dan mengunjungi akun Facebook yang sudah lama tidak ia kunjungi. Mungkin sedikit lagi jamur akan tumbuh subur dari saking lamanya tidak ditengok. Ia mengabaikan dua temannya yang hampir setiap hari bertanya perihal cuti untuk pulang kampung.
Jadi daripada ia terus-menerus dihantui rasa rindu dan ingin pulang, ada baiknya mengalihkan perhatiannya pada hal lain.
Sebenarnya kekhawatiran dua temannya itu beralasan. Sebab rekor Ilham itu sudah melebih Bang Toyyib yang hanya tiga kali puasa dan tiga kali lebaran tidak pulang. Tahun ini adalah tahun keempatnya tidak pulang dan berlebaran di kampung halaman.
"Balik, Ham. Nge-game terus, loh!" ujar lelaki yang tadi berdiri di depan meja kerjanya.
"Gue duluan. Mau jemput ayang dulu." Teman di sebelah mejanya itu sudah beranjak dan bersalaman secara bergantian pada penghuni ruangan tersebut.
Tanpa disadari kedua temannya sudah mengakhiri sesi debat. Mau tidak mau Ilham juga turut mengemasi barangnya dan langsung menuju area parkir. Baru saja sampai di depan motornya, ponsel yang ia letakkan di tas selempang kecil berdering.
"Ha ...."
"Asalamualaikum, Mas Ilham. Masku, Dinda boleh minta sepatu baru? Sepatu Dinda sudah ndak iso ditolong lagi, tumitnya jebol. Terus, ya, tas sekolahnya Mas Hiday juga jebol. Kalau Mas Bayu baterai hp-nya melembung, Mas."
"Wa'alaikumsalam. Tas sekolah Dinda masih aman? Besok sekalin Mas Ilham kirim, ya? Ayah sama Ibu sehat? Boleh Mas bicara?"
"Ayah sama Ibu ndak di rumah, Mas. Masih ada kondangan di rumah siapa itu, yaa. Dinda ndak kenal."
"Ya, sudah. Nanti sampein salamnya Mas Ilham, ya?"
"Hem."
Ilham memandangi ponselnya sejenak ketika sambungan telepon itu sudah terputus. Ia melihat layar putih dengan tulisan latin yang sangat indah. Wallpaper ponselnya itu sudah dua tahun tidak pernah berubah. Putih polos dengan namanya dan ketiga adiknya. Arkana Ilham, Aufa Sambayu, Arsalan Hidayah, Adinda Safitri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brownies Raja
General FictionSebelumnya Ilham tidak pernah mengenal apa itu sandwich generation. Hanya satu yang ia tahu, terlahir menjadi anak sulung adalah tulang punggung untuk keluarga. Walaupun dengan semangat yang mulai menipis dan rindu yang sudah menumpuk, ia masih teru...