Antara dibutuhkan atau tidak.
Antara diinginkan atau tidak.
Semua hanya sebatas lorong sempit.
Hanya menjadi pemisah.❄️❄️❄️
Sebuah gelas berisi air hangat dan obat lambung berada di atas meja. Ilham dipaksa untuk meminumnya terlebih dahulu sebelum menyantap apa yang ada dihadapannya. Setelah hampir tiga puluh menit, Ilham baru berani menyentuh makananya.
Bukan makanan yang ia bawa dari kosan, melainkan semangkuk bubur yang entah dari mana datangnya. Padahal dalam benaknya ia sudah membayangkan segarnya sayur asem dan ikan asin jambar roti dengan sambal, atau mi goreng yang sedikit pedas hasil karya Bu Endang akan mengisi perutnya.
Belum juga seperempat bagian, ia mendorong mangkuk bubur dan beranjak dari kursi.
"Dikit lagi, Ham."
"Mual, Bang Jaka."
"Siapa suruh lo telat makan? Ini udah kelewat banget dari jam makan."
"Nanti setelah dari depan, gue makan lagi, Bang. Asal nggak sekarang."
Ilham mengangkat mangkuknya dan meletakkannya di sudut meja. Tidak lupa ia tutup dengan menggunakan buku yang agak tebal. Entah apa yang ada di pikirannya, ia bergegas menuju bagian teller. Belum juga keluar, satu suara menghentikan langkahnya.
"Jangan harap bisa pecicilan kalau nanti lo nggak habisin makannya."
Sikap siap dan mengangkat tangan kanan sampai ke dahi langsung Ilham hadiahkan kepada dua abangnya itu. Setelah mendapat restu, Ilham berlari dan mencari keberadaan Andre.
Ia ke bagian teller, ternyata komputer cadangan sudah bertengger di sana. Sesuai dengan arahan OB, Ilham menuju ruangan sebelah pantry tempat beberapa teknisi biasanya berkumpul dan menyelesaikan permasalahan yang ada.
"Dre, gimana? Sori, gue telat."
"Masih belum bisa, Ham. Ini belum ketemu permasalahannya. Data sih, aman, tapi kondisi cadangan juga nggak terlalu baik, habis kena virus kemarin."
Ilham sebenarnya bukan orang yang paham akan IT, tetapi terkadang kemampuannya untuk memecahkan masalah yang membuatnya selalu dicari. Katanya, apapun masalahnya, Ilham pasti tahu solusinya.
Padahal, bukan di situ letak pembeda antara Ilham dan yang lainnya. Sulung dari empat bersaudara itu tidak mudah menyerah dan memanfaatkan semua kemampuannya sampai ambang batas.
Ia tidak segan untuk bertanya. Semisal bertanya sudah dilakukan, ia tidak lelah untuk mencari jawabannya melalui internet dan semua sudah ada di sana. Satu hal petuah yang selalu Ilham ingat dari sang ayah.
"Terkadang kita itu bukan tidak bisa, tetapi terlalu malas untuk memecahkan masalah yang ada dan terlalu bergantung pada orang lain," ujar sang ayah ketika Ilham masih menempuh masa kuliahnya di jurusan Pendidikan Sejarah Indonesia.
"Nak, manusia bisa itu karena terbiasa. Kepintaran kalau tidak diasah tidak akan berguna, tetapi anak yang tidak bisa semakin sering berlatih akan mahir."
Berbekal dengan pesan dari sang ayah itulah Ilham bukannya mengajukan diri, tetapi ketika ada kesempatan ditanya bisa atau tidak, maka Ilham akan menjawabnya dengan satu kalimat, "Beri sedikit waktu lagi, saya akan mencobanya."
Tidak pernah ada kata tidak yang meluncur dari mulut Ilham ketika ada yang meminta bantuannya. Ia selalu mencobanya terlebih dahulu sebelum menyerah. Namun, menyerah itu adalah alternatif terakhir yang jarang dan bahkan tidak pernah ia ucapkan.
"Gimana, Ham?" tanya Andre ketika tampak seperti orang melamun.
"Bentar, gue lihat dulu. Permasalahan yang ini dengan yang cadangan sama?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Brownies Raja
General FictionSebelumnya Ilham tidak pernah mengenal apa itu sandwich generation. Hanya satu yang ia tahu, terlahir menjadi anak sulung adalah tulang punggung untuk keluarga. Walaupun dengan semangat yang mulai menipis dan rindu yang sudah menumpuk, ia masih teru...