Saat ingin melupakan, justru tidak bisa.
Saat dibiarkan, justru lupa dengan sendirinya.Memang ingatan sebercanda itu.
Melupakan di saat yang tepat, mana ada?❄️❄️❄️
Realita yang diinginkan adalah masuk kamar, membersihkan tempat tidur dengan sapu lidi, memadamkan lampu, lalu berlayar di pulau kapuk. Fakta yang terjadi justru berbeda. Mata boleh terpejam, tetapi isi kepala tetap berisik dan memikirkan banyak hal.
Bagaimana jika matamu sudah enggan terbuka, tetapi isi kepala masih sibuk gaduh? Inginnya segera menyelesaikan masalah dengan dukungan minim dari anggota badan lainnya.
"Tidur, Ham, udah dini hari. Lo bukan titisan Ultraman. Lo lagi letih-man bin lelah-man," ujar Ilham lirih sambil membenahi bantal di kepalanya.
Sayangnya, Ilham menyerah. Pukul setengah empat pagi ia memilih untuk bangun dan salat malam. Setelahnya ia menimang ponselnya, ruang pesan antara ia dan adiknya sudah terbuka. Hanya tinggal menekan satu logo, maka sambungan telepon akan terhubung.
Ia sudah paham dengan kebiasaan keluarganya. Ayah dan ibunya pasti sudah bangung dan menunggu azan subuh berkumandang. Begitu juga dengan dua adik laki-lakinya. Tidak pernah sekalipun sang ayah membiarkan anak laki-lakinya bangun terlambat.
Hanya si bungsu yang dibiarkan tidur sedikit labih lama, tetapi karena terbiasa, si kecil kadang sering bergabung dan bangun lebih dulu sebelum matahari terbit.
"Asalamualaikum, Bay? Bapak sudah selesai salat?" tanya Ilham pada sang adik yang sudah mengangkat telepon padahal baru satu kali berdering.
"Sampun, Mas. Sebentar Bayu susul ke dapur."
Ilham mendengar suara derap langkah dari adik laki-lakinya. Tidak berapa lama suara kemrusuk menyambut.
"Siapa?" Suara serak sang ayah yang sangat Ilham rindukan akhirnya terdengar.
"Mas Ilham, Pak. Sudah semalam yang bilang mau telepon sama Bapak." Suara dari seberang telepon terdengar sangat jelas. Ilham menunggu dengan sangat tidak sabar untuk segera berbicara dengan sang ayah.
Sang ayah mengucapkan salam yang dibalas oleh Ilham. Keduanya kemudian saling memastikan keadaan. Ilham balik bertanya tentang kondisi keluarganya, ayah, ibu, dan ketiga adiknya.
"Hm, sehat semua, tapi namanya wes sepuh yaa gini, ada saja yang dikeluhkan."
"Dibawa periksa, Pak, biar dapat obat juga. Jangan eman sama uang, sehat itu memang mahal harganya, Pak."
"Iya, iya. Kamu tumbenan telepon? Ada apa?"
"Cuma mau cerita, Pak. Ada promosi jabatan untuk wilayah Jatim, Pak. Boleh diambil ndak?"
"Wes lah, ndak usah ribet pindah-pindah, kamu di sana sudah enak, teman juga banyak, ngapain dekat-dekat kalau ntar nyusahin? Kamu kurang apa"
"Sudah cukup, Pak."
Ilham tertunduk sambil memainkan tangan kirinya. Ia menggesekkan ibu jari dan jari telunjuk sampai kulit jarinya ikut terlelupas. Tidak ada jawaban lain yang ia ucapkan, hanya tiga kata itu saja.
"Terus, apa yang kamu kejar?"
"Pengin kumpul dengan keluarga, bisa ngerumat Bapak sama Ibu, nemenin adik-adik." Ilham menghela napas, ia sudah bisa menebak ke mana pembicaraan ini akan berakhir.
"Jauh dari keluarga kamu harusnya lebih fokus kerja, Bayu bentar lagi masuk kuliah, Hiday mau masuk SMA, Bapak sudah nggak muda lagi, kamu itu harusnya makin sergep kerjanya. Bukan malah mau pulang ke sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Brownies Raja
Fiksi UmumSebelumnya Ilham tidak pernah mengenal apa itu sandwich generation. Hanya satu yang ia tahu, terlahir menjadi anak sulung adalah tulang punggung untuk keluarga. Walaupun dengan semangat yang mulai menipis dan rindu yang sudah menumpuk, ia masih teru...