💔 Bukan Untukku

62 10 11
                                    


Aku sudah melepasnya, tapi ia kembali.
Ah, ternyata bukan untukku ia kembali.
Nyatanya memang urusan hati bisa sebercanda itu.

❄️❄️❄️

Suasana Kos Bu Endang sudah tampak sepi. Ilham memarkir motor perlahan dan langsung menuju dapur. Ia menyalakan ketel dan mengambil gelas kemudian menuangkan satu saset kopi bubuk instan tanpa gula. Ilham menambahkan sesendok teh gula pasir.

"Ilham, aku harus pergi. Aku ikut Ayah untuk pindah dinas ke Kanada, kita selesai sampai di sini, ya?"

"Kita masih bisa saling bertukar pesan, yang jauh hanya jarak, tapi untuk komunikasi teknologinya sudah canggih, Bina," ujar Ilham pada perempuan di hadapannya itu.

Sementara itu, sang gadis dengan rambut lurus dan tebal itu memutus kontak mata keduanya dan memilih untuk memandang kejauhan. Ia membiarkan rambut panjangnya itu diterpa angin. Keduanya berada di puncak tertinggi dari gedung tempat bekerja.

"Tetap enggak bisa, Ham. Aku juga harus fokus untuk kuliah lagi di sana. Ayahku memintaku untuk melanjutkan studi di sana."

Ilham tersenyum, ia menatap ke manik mata sang gadis yang sudah dua tahun menemaninya. Sambil perlahan menarik napas, lalu melepaskannya. "Tsabina Salsabila, apa yang menjadi keputusanmu, aku ikuti. Kamu bisa menjalankan studi dan pindah. Beri kabar jika kamu sudah pulang, lalu kita bertemu lagi."

Suara ketel yang berdesis menyadarkan Ilham, ia menuang air panas ke dalam gelas dan mengaduknya. Dengan langkah perlahan ia menuju ke rooftop. Setelah menaruh gelas berisi kopi di meja, Ilham mendekati koleksi bunga mawarnya yang sebagian berbunga.

Mawar kecil berwarna merah muda tumbuh dengan subur, di sebelahnya bunga mawar berwarna merah kecoklatan dengan corak berwarna kuning juga mulai mekar. Si sulung itu bersedekap sambil memandangi langit yang berbintang.

"Ham, aku bukan ngembaliin pemberianmu, tapi tolong rawat mereka dengan baik. Siapa tahu aku bisa balik lagi?"

Ilham yang kala itu baru saja akan berankat kerja dikejutkan dengan hadirnya Tsabina di depan kosan Bu Endang. Entah kehilangan kata atau bagaimana, Ilham hanya mengangguk, lalu meminta bantuan beberapa adik kosnya untuk memasukkan pot-pot mawar yang sudah berjajar di depan gerbang pintu kos.

"Hati-hati, kabari kalau sudah pulang lagi ke Indonesia," ujar Ilham singkat.

Sepenggal ingatan itu membuat Ilham kembali merasakan lukanya. Ia mungkin terlalu gegabah untuk menerima ungkapan isi hati Tsabina kala itu, sebab nyatanya kasta yang ada sangat berbeda. Dari latar keluarga, pendidikan, sudah sangat jauh antara ia dan Tsabina.

Malam ini, biarlah secangkir kopi menemaninya, untuk sekadar menuntaskan ingatan pada Tsabina yang nyatanya sudah kembali ke Indonesia. Hadir di kafe tempat langganan mereka nongkrong dengan wajah yang sumringah, tetapi tidak bersama Ilham, melainkan sosok lain yang Ilham kenal sebagai manajer di tempatnya bekerja.

"Mas Ilham!" seru seseorang.

Ilham menoleh dan tersenyum ketika tahu siapa yang memanggilnya. Ia menunggu sosok itu untuk mendekatinya. Ketika keduanya sudah sejajara, Ilham menyamakan langkah kakinya.

"Mbak Rey kesiangan?" ucap Ilham sambil terus berjalan beriringan.

"Enggak, Mas. Hm, gimana dengan tawaran mutasinya? Apa sudah dibicarakan dengan keluarga?"

Anggukan yang Ilham berikan hanya sekali dan itu pun tampak tidak bersemangat.

"Lalu?" tanya si pemilik nama Reyninta Putri.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 15 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Brownies RajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang