5. Game?

7.1K 142 0
                                    

"Kau sudah gila?" Itu adalah umpatan yang biasa Renaldi katakan kepadaku. Tapi, kali ini umpatan itu terdengar lain. Penuh penekanan dan sarat akan emosi. Lihat saja, mata Renaldi yang melotot ke arahku.

"Mulutku memang sudah gila!" balasku enteng.

"Aku tak peduli kau suka menebar spermamu dimana. Tapi, hei, ini tentang sesuatu sekali seumur hidup. Kau tak bisa main-main, Dev," omel Renaldi. Kenapa sekarang malah dia yang cemas dengan apa yang sedang terjadi kepadaku?

"Mungkin aku sedang tidak main-main." Aku hampir terkejut kali ini dengan kata-kata yang kuucapkan. Tapi, hanya pemikiran simpel itu yang mampu kudapatkan setelah semalaman berpikir.

"Kau yakin dengan apa yang kau katakan barusan?" Renaldi menyipitkan mata, mencoba mencari kesungguhan dari ucapanku.

Kuangkat kedua bahuku, tanda tak mengerti. "Aku sedang mencoba untuk tidak main-main."

Kudengar helaan napas panjang Renaldi. Dia akhirnya pasrah terhadap sikapku. "Lalu, bagaimana dengan Nerrisa?"

"Aku tidak tahu," jawabku. Inilah kenyataannya. Meskipun dari mulut kami masing-masing telah melontarkan deklarasi tentang pernikahan, tapi sesungguhnya aku dan Nerrisa belum membangun rencana apa-apa untuk ke arah sana. Miris memang. Nerrisa langsung meninggalkanku setelah aku menjawab pertanyaannya tentang keseriusanku menikahinya. Jujur, sikapnya itu membuatku sedikit frustasi. Selama ini aku selalu menjadi seseorang yang diinginkan. Akan tetapi, berhadapan dengan Nerrisa sungguh berbeda. Di matanya aku menjadi sebuah kelereng yang tak berharga.

"Kau harus berbicara kepadanya dengan serius," saran Renaldi.

Aku mengangguk mengiyakan. Otakku secara spontan langsung bekerja. Memikirkan hal apa saja yang akan kubicarakan pada Nerrisa. Mendadak aku teringat sesuatu. "Re, bisa aku minta bantuanmu?"

Renaldi mengernyit heran. Dia tahu benar kebiasaanku. Jika ku sudah meminta bantuannya, maka hal yang kuminta itu adalah sesuatu yang serius.

"Aku perlu informasi tentang Aditama Frantoro," ujarku memecah keheranan Renaldi.

"Calon mertuamu?" tanyanya. Kuanggukan kepala mengiyakan.

"Segala hal yang berkaitan dengannya," tambahku.

"Ada apa memangnya?" Rasa ingin tahu membuat Renaldi terus bertanya.

"Aku hanya ingin tahu calon mertuaku itu seperti apa," jelasku. Aku tidak sepenuhnya berbohong. Aku memang ingin tahu orang macam apa Aditama Frantoro itu. Ya, disamping hal-hal lain yang mungkin berkaitan dengan hubungan Nerrisa dan ayahnya itu. Ada yang tidak beres saat calon wanitaku menatap ayahnya. Api kebencian seolah berkobar-kobar. Pasti sesuatu yang buruk pernah terjadi sehingga membuat seorang anak membenci ayahnya sendiri. Aku perlu tahu akan hal itu.

"Baiklah, akan aku cari informasinya. Aku kembali dulu ke ruanganku," ujarnya seraya berjalan menuju satu-satunya pintu di ruanganku.

Akhirnya Renaldi dapat menerima segala alasan yang kukemukakan. Aku menghela napas lega.

"Oh ya, bagaimana dengan ibumu?"

Sialan! Kenapa pula Renaldi malah mengingat tentang satu hal itu. "Sudah kuatasi. Ya, meski tadi pagi aku hampir dibuat babak belur," jawabku. Ibuku memang mengerikan ketika marah.

Bug! Sesuatu yang keras menghantam mukaku. Buru-buru kubuka mata. Kuusap wajahku yang terkena pukulan benda yang entah apa itu. Sial sekali aku pagi ini. Kufokuskan pandangan pada siapa yang beraninya memperlakukanku seperti ini. Mataku langsung melotot terkejut. "Mami?"

"Dasar anak kurang ajar!" Bug! Bug! Bug! Kembali, wanita berumur 53 tahun yang sudah melahirkanku itu melayangkan tas Prada hitamnya kepadaku. Refleks kedua tanganku menutup wajah. Tindak antisipasi agar wajahku tidak terkenal hantaman benda sialan itu. Bisa repot nanti jika wajahku memar. Ketampananku bisa berkurang.

Suddenly MarriedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang