MARS: Mahadri dan Jasmine

419 59 128
                                    




TRIGGER WARNING: This story contains 18+ scene. Reader discretion is advised!

PS: Vote and comments are highly appreciated. I mean it, since I really need those, 4000 kata shay.

Happy reading!

***

Suara desah dua anak manusia itu memenuhi ruangan berukuran dua belas meter persegi. Tembok berwarna broken white itu sudah sering jadi saksi pertemuan dua anak manusia yang berujung senggama—tak terhitung banyaknya. Terkadang suara-suara itu terdengar sampai dini hari. Apalagi saat weekend dan hari libur lainnya. Di hari-hari biasa mungkin tak sesering itu. Hanya dua atau tiga hari sekali, dan hanya sampai tengah malam.

Setelahnya, kedua orang itu akan tidur sampai pagi dan berlagak seolah tak terjadi apa-apa di malam sebelumnya.

Malam ini terasa begitu berbeda—atau mungkin hanya Adri yang merasakannya. Saat bercumbu hingga bersenggama dengan Jasmine, dia merasa ada sesuatu yang ingin diungkapkan oleh gadis itu. Jasmine tak seperti biasanya. Not that she's bad, though—she's always so wonderful in bed. Tapi Adri merasa, gadis yang sedang berada di atasnya itu sedang banyak pikiran.

Dahi Jasmine berkali-kali menunjukkan kerutan, dan Adri mencoba menenangkannya dengan memberikan kecupan ringan di bibir hingga leher gadis itu.

Wajah Jasmine kemudian berubah—kali ini, Adri mengenalnya. Sebentar lagi, gadis itu mencapai puncaknya. Tubuhnya bergetar hebat dan desahnya mulai tak beraturan. Adri memeluknya sampai Jasmine mendapatkan puncaknya.

"You're so beautiful," kata Adri ketika merasakan tubuh Jasmine melemah di atasnya.

Gadis itu menyingkirkan kepalanya dari dada Adri dan menatap lelaki itu lekat-lekat. Tak ada kata yang terucap. Jasmine hanya merapikan anak rambut Adri yang menempel di kening. Setelahnya, gadis itu bangkit berdiri dan melepaskan penyatuan mereka berdua.

Jasmine duduk di sisi ranjangnya lalu mengikat rambut dengan kuncir yang ia taruh di atas nakas.

Mata Adri masih tak lepas dari sosok Jasmine—dan saat itulah dia menyadari ada tatto di pundak kanan gadis itu. Dia mengernyit. Seumur-umur kenal dengan Jasmine, Adri nggak pernah tahu kalau gadis itu memiliki tatto di tubuhnya. Apalagi dia lebih sering lihat Jasmine telanjang daripada saat gadis itu pakai baju. Jadi tatto yang tertulis di pundak kanan gadis itu pastilah tatto baru.

Adri mendudukkan dirinya. Tangannya terangkat lalu telunjuknya mengusap lembut rangkaian kata di pundak kanan Jasmine.

"Keep going, don't stop," gumam Adri. "1970-2023—what is this? Ini tatto baru kan?"

Jasmine tak langsung menjawab. Gadis itu menarik napas panjang lebih dulu lalu menjawabnya dengan suara gemetar yang tak bisa ia sembunyikan.

"Words that my mom used to say to me."

"Used to?" tanya Adri bingung.

"She passed away three weeks ago because of breast cancer," suara Jasmine terdengar makin gemetar.

Adri hanya bisa melongo. Nggak tahu kenapa dia merasa bersalah. Bahkan dia nggak tahu kalau cewek paling dekat di hidupnya ini baru saja kehilangan sang ibu kurang dari satu bulan yang lalu. Dia memang nggak kenal keluarga Jasmine, tapi tetap saja dia merasa bersalah.

Adri nggak tahu apa-apa, bahkan nggak bertanya apa-apa saat Jasmine menolak menemuinya tiga minggu belakangan ini—dan itu membuatnya sedih. He wasn't there when Jasmine hit her lowest point of her life.

Into the Planets (SERIES, A SHORT STORY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang