PS: Vote and comments are highly appreciated.
Happy reading!
***
Suara debam keras di atas meja makan membuat Caraka bangun secara tanpa aba-aba. Alhasil, kepalanya pening bukan main karena matanya merespons terhadap cahaya terang secara tiba-tiba.
Terakhir kali dia ingat, matahari masih malu-malu menampakkan sinarnya, tetapi tiba-tiba bintang raksasa itu sudah empat puluh lima derajat di atas pintu kaca dekat ruang makannya. Paling tidak, ini sudah pukul delapan pagi—dan itu menjelaskan kenapa sang ayah sudah berpakaian serapi ini.
"Bangunin aku bisa lebih manusiawi nggak, Pa?" keluh Caraka pada sang ayah yang sedang tersenyum miring. "Pusing tahu dibangunin tiba-tiba."
"Kamu ketiduran di ruang makan," balas Papa. "Susu kamu masih segelas penuh dan udah dingin."
Ah, Raka baru ingat kenapa dia bisa ketiduran di ruang makan. Setelah urusannya tadi malam, Caraka sebenarnya berniat untuk sarapan dengan roti dan segelas susu hangat. Sayangnya, dia justru ketiduran di atas meja makan.
Caraka mengedikkan bahunya lalu meneguk habis segelas susu dinginnya. Saat ini yang dia butuhkan adalah tidur nyenyak di atas kasur bulu angsanya. Putra sulung keluarga Djani Wibisana itu kemudian berdiri dan meregangkan otot-ototnya. Dia hendak naik ke atas sebelum Papa akhirnya mengajukan pertanyaan.
"Kamu semalam nggak tidur?"
Caraka ingin berbohong, tapi nggak bisa. Lagipula, sang ayah sudah memergokinya ketiduran di meja makan. "Nggak sempat tidur. Ada lembur edit video."
Bagian awalnya dia memang nggak bohong, tapi kalimat akhirnya Caraka berbohong dan kayaknya Papa tahu itu.
Papa tiba-tiba mendengus. "Kamu nggak mungkin lembur kerjaan sendirian," katanya sangsi. "Donny pulang jam sembilan, papasan sama Papa semalam."
"Ah—"
"Kamu ke tempat Asmara lagi kan?" tanya Papa hati-hati. Dia sebenarnya nggak mau terlalu mencampuri urusan sang anak sulung. Apalagi anaknya itu sudah berusia tiga puluh satu tahun. Bukan usia di mana ayah dan ibunya harus membimbing dan menjelaskan ke mana arah hidupnya di masa depan. Namun kekhawatiran sang istri tentang Caraka lama-lama jadi kekhawatirannya juga.
Awalnya, Papa hanya mengira Mama panik sesaat karena Labda menikah duluan dibanding Caraka. Tapi Papa tahu, bukan itu masalahnya. Ada sesuatu yang lebih besar, dan dia mengerti kenapa sang istri akhir-akhir ini begitu khawatir dengan putra sulungnya.
Caraka nggak menjawab pertanyaan sang ayah. Alih-alih, dia malah menggigiti bibirnya. Kentara sekali sedang mencari jawaban untuk keluar dari situasi ini.
"Kalau Mama tahu—"
"Mama nggak perlu tahu, Pa," putus Caraka pada akhirnya. "Aku udah bukan cowok urakan awal dua puluhan yang hobi nabrakin mobil Papa kayak dulu lagi. Aku tahu apa yang aku lakuin, dan apa risikonya. Papa dan Mama nggak usah terlalu khawatir."
"Oke," kata Papa pada akhirnya. "Cuma kamu tahu ini harus ada akhirnya kan? Kamu nggak akan kayak gini terus kan? Paling nggak janji itu aja sama Papa."
Caraka nggak bisa menjawab. Bahkan sampai Papa menghilang dari pandangannya, Caraka masih belum tahu jawaban dari pertanyaan itu. Dia nggak bisa berjanji apa-apa.
Apakah ini memang harus berakhir?
***
"Raka ..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Into the Planets (SERIES, A SHORT STORY)
RomantikKalau lagi kumpul keluarga besar, Eyang selalu tanya, "Jadi, habis ini siapa yang mau menikah?" Memangnya, hidup itu cuma soal menikah?