Malam itu, sebuah pertengkaran terjadi lewat telepon, yaitu antara Aku dan Yuki, kekasihku.
Saat itu Aku sedang di Jakarta, di mess tempatku bekerja, sedangkan Yuki di rumahnya, di Bandung.
Perdebatan itu berlangsung cukup lama dan membuat situasi semakin rumit. pada akhirnya, Aku pun kehilangan kendali.
"Yaudah, gausah hubungi aku lagi !" kataku, emosi.
Saking kesalnya, Aku langsung mengakhiri panggilan, mematikan ponsel, dan melepas batrenya.
Aku menjatuhkan diri ke kasur, berniat untuk segera tidur. tapi satu jam kemudian, keheningan itu membuatku tidak nyaman.
Aku segera menyalakannya kembali ponselku. kulihat, Yuki sudah misscall 12 kali dan mengirim satu pesan.
Dengan firasat buruk, Aku mulai membacanya.
"oh... gitu, yaudah. kita putus.
sekarang semuanya udah jelas, aku emang bener-bener udah gada artinya lagi.sebenernya aku gamau kita berakhir kek gini, tapi mau gimana lagi, kamu ga pernah sadar kalo kamu egois, kamu jahat, Tama.
aku ga akan panjang lebar, segitu aja dariku. ohya, makasih banyak buat 5 taun ini, maafin aku kalo banyak salah. selamat tinggal, Tama,"
Tanganku gemetaran, jantungku tak karuan melihatnya.
Setelah selesai, aku membacanya lagi berulang-ulang karena masih tidak percaya kalau Yuki sudah menulis itu.
Aku segera menelpon Yuki, tapi yang menjawabku hanya suara operator yang sangat menyebalkan.
"...the number you're calling is not active."Perasaanku tidak tenang, dan itu membuatku sulit untuk tidur.
Selimut malam ini tidak memberiku kehangatan, melainkan rasa sesal yang mendalam.
Besoknya, Aku bergegas ke Bandung naik bus. disisi lain aku terus mencoba untuk menghubungi Yuki.
kali ini ponselnya aktif, tapi dia tidak mengangkatnya, aku pun mengirim pesan "Yuki, Aku lagi otw kesana,"
Beberapa jam berlalu, Aku pun sampai di sebuah komplek, tempat Yuki tinggal. lalu kukirim pesan lagi.
"Aku di lapang voli, deket rumah kamu,"Setelah itu, Aku duduk di bangku yang ada pinggir lapang, Aku menunggunya dalam lamunan.
Akhirnya, Yuki muncul di hadapanku. matanya terlihat sembab, hidungnya juga agak kemerahan, Aku menduga dia sudah menangis hebat semalaman. betapa jahatnya Aku.
"duduklah," ajakku.
Yuki pun duduk di sampingku."Yuki... Aku minta maaf soal semalam, Aku..."
belum selesai Aku bicara, Yuki mengeluarkan sesuatu dari saku hoodienya, itu adalah ponsel couple yang aku berikan padanya tahun lalu.
Dia menaruhnya di antara kami, di bangku yang sedang kami duduki.
"maksudnya?" tanyaku, lemas."aku selesai," jawab Yuki, tanpa melihat wajahku.
"ayolaah... jangan kek gini, pliss. geh bawa lagi hp-nya, buat komunikasi kita,"
Yuki malah beranjak, lalu maju beberapa langkah, menjauh dariku.
"mau kemana?" tanyaku. "Aku belum beres,"
"aku mau ke warung, tadi disuruh ibu. bukannya kamu lagi kerja? kenapa jauh-jauh maksain kesini? ayo, kuantar sampai depan,"
"Yuki, pliiisss," kataku, memelas.
"Aku duluan" Yuki mulai berjalan lagi.
"Hei... Yuki... Yuki tunggu,"
Yuki tidak menjawab, terus melangkah.
Aku merasa seperti diusir dengan cara yang halus. terpaksa aku pun berdiri, membawa ponsel Yuki, lalu mulai melangkah.
Entah kenapa, tubuhku tidak mampu mendekatinya, hanya bisa mengikutinya dari belakang.
Seperti sudah tercipta sebuah jarak, bahwa dia benar-benar sudah menolak.
Sepanjang berjalan, kami tidak mengobrol apapun, menciptakan sunyi pada dimensi kami. sesekali kicauan burung terdengar, terbawa oleh hembusan angin di sekitar.
Aku kehabisan kata-kata untuk memohon. dan Yuki terlihat percaya diri pada keputusannya.
Di persimpangan, Yuki belok ke warung sambil berkata, "hati-hati di jalan," tapi entah kenapa kakiku malah terus maju kedepan, seakan pasrah dan mengiyakan.
mentari yang terasa hangat, angin sejuk menjelang siang, daun kering yang berjatuhan, langit biru yang cerah, menemani hati, yang mulai hancur.
Setelah terjadi perang batin, akhirnya Aku bisa berhenti melangkah. Aku pun menengok ke belakang, sekali lagi.
Ternyata, Yuki masih berdiri disana, menatapku.
***
...Bersambung,